Minggu, 08 Desember 2013

Pembahasan pendapat jadid dan qadim dalam Mazhab Syafi'i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Dalam dataran pemahaman ulama terhadap dasar-dasar ajaran agama, perubahan merupakan suatu keniscayaan, hukum yang berdasarkan ijtihad yang lama bisa saja berubah karena adanya ijtihad yang baru. Perubahan pendapat imam mazhab berujung kepada perubahan hukum Syar’i pada hak muqallid (penganut mazhab tersebut), karena apa saja yang telah di ifta` oleh imam mazhab merupakan hukum Syar’i pada hak pengikutnya.[1] Tentang perubahan suatu hukum para ulama berbeda pandangan sebagai berikut : Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum itu bisa berubah karena perubahan masa, disebabkan luasnya cakupan pernyataan ini sebagian ulama lain mempertanyakan apakah setiap hukum (baik yang qath’i maupun yang zanni) bisa berubah karena perubahan zaman. Ali Ahmad Al-Nadawi menjelaskan bahwa hukum yang berubah adalah hukum-hukum ijtihadiyah yang bersumber dari urf dan mashlahah.[2]

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf dengan membuat satu kaedah : “Hukum yang bersumber kepada urf dapat berubah karena perubahan masa, karena cabang akan berubah bila dasarnya telah berubah”. Disebabkan ini berkatalah para fuqaha’ pada perubahan seperti ini, sesungguhnya yang berubah adalah masa bukan dalil dan hujjah.[3] Misalnya pendapat Abu Hanifah yang menuntut sifat adil (al-‘adalah) seorang saksi secara lahiriyah, Ia tidak mensyaratkan kebersihan saksi dari dosa kecuali dalam hukum had dan qishas, karena orang pada saat itu masih lurus moralnya, pergaulannya, dan umumnya didasarkan pada saling percaya. Tetapi pada masa Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan yang keduanya merupakan penerus mazhab Abu Hanifah, kebohongan telah menjadi mentalitas baru bagi masyarakat sehingga jika syaratnya sifat adil secara lahiriyah saja dari seorang saksi, maka bisa mengakibatkan kerusakan dan hilangnya hak-hak orang lain, maka Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan mensyaratkan kebersihan saksi dari dosa. Menurut para ahli fiqh perbedaan antara Abu Hanifah dan kedua muridnya itu hanyalah perbedaaan waktu dan tempat saja, bukan perbedaan pada dasar argumentasi dan bukti.[4]

Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat, pernyataan bahwa hukum dapat berubah karena perubahan masa tidak boleh diartikan secara umum, karena semua hukum telah sempurna semasa hidup Rasulullah SAW, umat islam juga sudah sepakat bahwa tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Maka tidak mungkin timbul hukum yang baru setelah wafatnya beliau. Menurut Abu Syakil bahwa kaedah-kaedah mazhab tak akan pernah goyang karena perubahan masa. Hal serupa juga diutarakan oleh al-Hasiri dengan menjelaskan bahwa hukum Syar’i memang didasarkan kepada mencari kemashlahatan dan menolak kerusakan, tetapi bila adat pada suatu daerah berbeda dengan ketetapan hukum Syar’i, maka adat mesti ditinggalkan.[5] Para ulama ini berpegang pada ayat Al-Qur`an dalam surat Al-Maidah : اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا ... Artinya : “Pada hari ini saya menyempurnakan bagimu agamamu dan saya sempurnakan nikmat saya atas kamu dan saya memilih Islam sebagai agamamu”. (Al-Maidah : 3) Menurut Imam Jalaluddin Al-Suyuthi, kata-kata “ دينا “ dalam ayat tersebut bermakna segala hukum-hukum dan kewajiban, maka sesudah ayat ini tidak diturunkan lagi satu ayat pun yang menyatakan tentang halal dan haram, dengan kata lain ayat yang membicarakan tentang hukum, inilah yang terakhir sekali diturunkan.[6] Adapun perubahan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i menurut mereka tidak ada yang perlu diperdebatkan, karena beliau adalah seorang mujtahid mutlak yang dalam penelitiannya mungkin menemukan hadits-hadits yang tidak ditemukan sebelumnya, atau menemukan kelemahan pada dalil pendapat lama, lalu beralih kepada dalil yang lebih kuat sehingga melahirkan pendapat yang baru.[7] Dari perbedaan dua pendapat tentang perubahan hukum karena perubahan masa, dapat kita lihat bahwa kedua pendapat diatas tidak menyentuh dan tidak memperdebatkan sama sekali apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam merubah pendapatnya. Dalam literature sejarah Imam Syafi’i yang lahir pada tahun 150 H, dan wafat tahun 204 H, merupakan salah seorang ulama yang melakukan perjalanan intelektual dari satu tempat ke tempat lainnya untuk melakukan diskusi dan perdebatan ilmiah. Karyanya yang sangat terkenal adalah Al-Umm (dalam bidang fiqh) dan Al-Risalah (dalam bidang ushul fiqh). Diantara pendapatnya dikenal dengan sebutan qawl qadim dan qawl jadid. Pada tahun 170 H Imam Syafi’i berangkat ke Madinah untuk belajar pada Imam Malik Bin Anas. Di Madinah pada saat itu sedang berkembang ilmu fiqh aliran hadits yang dipelopori oleh Imam Malik Bin Anas. Beliau juga pernah menetap di Irak yang pada saat itu sedang berkembang ilmu fiqh aliran ra’yi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah. Selama di Irak beliau menggunakan kesempatan untuk belajar pada sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu yusuf dan Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani. Di Irak juga Imam Syafi’i sering berdiskusi dengan dua ulama tersebut sehingga beliau lebih mengenal aliran fiqh yang berbeda dengan apa yang didapatkannya di Madinah. Dari perjalanan inilah Imam Syafi’i berhasil menyerap dua aliran fiqh dengan latar belakang yang berbeda.[8] Tahun 199 H Imam Syafi’i pindah ke Mesir dan beliau berkenalan dengan murid-murid Imam Al-Layts Bin Sa’ad, Imam Al-Layts merupakan sahabat Imam Malik. Disini Imam Syafi’i mengetahui seluk beluk aliran fiqh Imam Al-Layts yang menjembatani antara fiqh ahli hadits dan fiqh ahli ra’yi.[9] Selama menetap di Mesir Imam Syafi’i banyak menemukan hadits-hadits yang baru pertama kali didengarnya, yaitu yang dinukil dari murid-murid Imam Al-Layts. Beliau juga menemukan tradisi dan peradaban baru yang tidak sama dengan apa yang dilihatnya di Irak dan di Hijaz. Semua itu mendorongnya untuk lebih banyak meneliti dan berpikir dengan tetap berpegang pada jiwa hukum syari’at.[10] Di samping itu beliau juga sering melakukan diskusi tentang fiqh dengan metode yang berlainan dengan metode di Irak dan Hijaz. Dalam perjalanan intelektual inilah beliau menemukan hal-hal yang berbeda dari sebelumnya, sehingga penemuan ini menjadi landasan baru dalam melakukan istinbath dan akhirnya Imam Syafi’i merevisi beberapa pendapatnya yang kemudian dikenal dengan istilah Qawl Jadid. Dari uraian diatas masih menimbulkan tanda tanya terhadap faktor-faktor yang menyebabkan Imam Syafi’i memodifikasi pendapatnya, inilah yang membuat penulis tertarik untuk menggali, meneliti, dan menganalisa permasalahan tersebut dalam bentuk karya tulis dengan judul : Metode Ijtihad Al-Syafi’i (Kajian tentang Faktor Lahirnya Al-Qawl Al-Jadid). Disini penulis menyadari bahwa masyarakat pada umumnya minim sekali pengetahuan dalam masalah ini, disamping itu juga sebagai tambahan wawasan keilmuan penulis sendiri. Hal ini dianggap sesuatu yang urgens terutama bagi agamawan dan masyarakakat pada umumnya, dengan pertimbangan bahwa masalah fiqh adalah masalah yang menyentuh setiap sisi kehidupan masyarakat, baik aspek ibadah, mu’amalah dan lainya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan judul yang penulis angkat dalam karya tulis ini, antara lain : 1. Bagaimana metode Ijtihad Imam Syafi’i dalam membentuk Qawl Jadid ? 2. Faktor apa saja yang mendorong Imam Syafi’i melahirkan Qawl Jadid ? 3. Bagaimana pandangan Imam Syafi’i tentang pengamalan Qawl Qadim dan Qawl Jadid ? C. Tujuan Penelitian. Pembahasan ini mempunyai tujuan sebagai berikut : Untuk mengetahui metode ijtihad Imam Syafi’i dalam membentuk qawl jadid. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong Imam Syafi’i melahirkan Qawl Jadid. 3. Untuk mengetahui pandangan Imam Syafi’i tentang pengamalan Qawl Qadim dan Qawl Jadid. D. Metode Penelitian Dalam penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan metode kualitatif.[11] Metode kualitatif digunakan karena data yang dikumpulkan bersifat kualitatif (pemikiran), yaitu pendapat Imam Syafi’i. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi perpustakaan yaitu memilih dan menganalisa literature yang berkenaan dan dipandang mendukung materi pembahasan, khususnya bahan bacaan yang membicarakan metode ijtihad Imam Syafi’i, Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Kemudian menyusunnya dalam suatu uraian yang sistematis. Data yang yang dikumpulkan terdiri dari dua sumber, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diambil dari kitab hasil karya Imam Syafi’i sendiri (Al-Risalah dan Al-Umm), dan kitab karya Abi Ishak Al-Syairazy (Al-Muhazzab) dan Kitab karya Al-Mawaridi (Al-Hawi Al-Kabir). Sedangkan sumber sekunder diambil dari kitab-kitab dan literature lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini penulis memakai pedoman penulisan yang berlaku, yaitu Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniri Banda Aceh tahun 2001. Sedangkan untuk penerjemahan ayat-ayat Al-Qur`an, digunakan Al-Qur`an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia Tahun 1995. E. Sistematika Pembahasan. Untuk melengkapi pembahasan skripsi ini, penulis perlu menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut : Bab satu, merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua, merupakan pembahasan perjalanan intelektual Imam Syafi’i, yang meliputi biografi Imam Syafi’i, guru-guru Imam Syafi’i, Imam Syafi’i sebagai penengah antara ahli hadits dan ahli ra’yi, murid-murid Imam Syafi’i, dan kitab-kitab karya Imam Syafi’i. Bab tiga, merupakan bab inti dalam pembahasan, yaitu proses lahirnya qawl jadid, yang dibagi kepada tiga sub bab. Sub bab pertama mengungkap metode ijtihad Imam Syafi’i yang dibagi kepada penjelasan mengenai dalil-dalil hukum dan langkah-langkah ijtihad. Sub bab kedua membahas perubahan fatwa dari qawl qadim ke qawl jadid, pembahasannya dibagi kepada ruang lingkup perubahan fatwa, contoh-contoh kasus, faktor-faktor yang mendorong perubahan fatwa, serta qawl qadim dan qawl jadid dalam perkembangan fiqh Syafi’iyah. Sedangkan sub bab ketiga berisi analisa penulis tentang metode ijtihad Imam Syafi’i, faktor-faktor yang mendorong Imam Syafi’i merubah fatwanya, dan pandangan Imam Syafi’i tentang pengamalan qawl qadim dan qawl jadid. Bab empat meruapakan bab penutup dalam pembahasan skripsi ini, yang didalamnya penulis akan menarik beberapa kesimpulan dari pembahasan bab-bab terdahulu. Dalam bab ini pula penulis akan mengajukan beberapa saran yang berhubungan dengan pembahasan ini. [1]Zakaria Al-Anshary, Ghayah Al- Wushul Syarh Labbi Al-Ushul, (Semarang : Toha Putra, n.d) hal. 6. [2]Ali Ahmad Al-Nadawi, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, (Damaskus : Dar Al-Qalam, 1994) hal. 158. [3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Damaskus : Dar Al-Qalam, 1978) hal. 91. [4]Abdul Majid Al-Syarafi, Ijtihad Kolektif, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2002) hal. 119. [5]Sayid Alwi Bin Ahmad Al-Shaqaf, Fawaid Al-Makiyah Fi Ma Yahtajuhu Thulabat Al-Syafi’iyah, (Jeddah : Al-Haramaini Sanqafurah, n.d) hal. 80. [6]Jalaluddin Al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalaini, Jilid I, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1993) hal. 354. [7]Al-Shaqaf, Fawaid Al-Makiyah…, hal. 80. [8]Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Cet V, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1991) hal. 23. [9]Abdurrahman al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh,(Bandung : Pustaka Hidayah, 2000) hal. 382. [10]Yusuf al-Qardawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), hal. 89. [11]Muhammad Sayuthi Ali, Metode Penelitian Agama,Cet. I, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 63. BAB II PERJALANAN INTELEKTUAL IMAM SYAFI’I Biografi Singkat Imam Syafi’i. Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H dengan nama Muhammad di Ghaza Palestina. Sebagian ahli sejarah mengatakan beliau lahir di ‘Asqalan, tetapi kedua pendapat tersebut bisa disatukan karena Ghaza dahulunya adalah termasuk dalam wilayah ‘Asqalan.[1] Berkenaan dengan garis keturunannya, mayoritas sejarawan berpendapat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Bani Muthallib suku Quraisy. Silsilah nasabnya adalah sebagai berikut : Muhammad Bin Idris Bin ‘Abbas Bin Utsman Bin Syafi’ Bin Saib Bin ‘Abid Bin Abdu Yazid Bin Hisyam Bin Muthallib Bin Abdu Manaf Bin Qushai Bin Kilab. Berarti nasab Imam Syafi’i bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya yang bernama Abdu Manaf.[2] Ayah dan ibu beliau berasal dari keluarga bersahaja di Mekah yang kebetulan sedang berada di Ghaza karena ada suatu keperluan, Ayahanda beliau wafat diperantauan tersebut. Kemudian ibunya membawanya kembali ke Mekah ketika beliau berumur dua tahun. Mekah adalah tempat Imam Syafi’i menghabiskan masa kanak-kanaknya dan ditempat ini pula beliau memulai kehidupan keilmuannya.[3] Imam Syafi’i hidup pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbasiyah dengan khalifahnya Harun Al-Rasyid (170 – 193 H). dan Al-Ma’mun (198 – 218 H). sebagaimana diketahui, bahwa dunia islam pada waktu itu sedang menapak puncak kejayaannya yang ditandai dengan kemajuan disegala bidang, termasuk bidang keilmuan. Diantara pusat-pusat ilmu pengetahuan pada saat itu adalah Mekah, Madinah, Kuffah (Irak), Syam (Damaskus), dan Mesir.[4] Dalam perjalanan meniti karirnya sebagai ahli fiqh, Imam Syafi’i sempat menyerap berbagai aliran fiqh yang berbeda ketika ia menetap di berbagai daerah, yaitu Mekah, Madinah, Yaman, Irak dan Mesir. Aliran fiqh yang berbeda-beda yang sering disebut sebagai mazhab klasik yang kelak berevolusi menjadi mazhab fiqh yang dikenal dizaman ini, pada awal perkembangannya sebagai aliran yang berpusat di kota-kota tertentu, sehingga nama aliran fiqh ketika itu selalu disandarkan kepada nama kota yang menjadi basisnya. Masing-masing kota mempunyai tokoh tersendiri yang berjasa dalam perkembangan pemikiran hukum diwilayahnya.[5] Menjelang usia tujuh tahun Imam Syafi’i telah menyelesaikan pelajaran baca tulis, bahkan telah mampu menghafal Al-Qur`an tiga puluh juz dengan berguru kepada Ismail bin Qusthanthin serta menguasai sejumlah hadits Nabi. Disaat berumur sepuluh tahun beliau telah mampu menghafal kitab Al-Muwattha` karya Imam Malik Bin Anas. Al-Syafi’i mempunyai minat yang sangat tinggi dalam belajar bahasa Arab sehingga mendorong beliau untuk meninggalkan Mekah dan pergi ke perkampungan Bani Huzail (satu kabilah yang masih murni bahasa arabnya) guna mendalami bahasa Arab yang fasih. Barang kali karena hal inilah ia dikenal mempunyai penguasaan sastra arab yang tinggi.[6] Selang beberapa waktu, beliau mendalami ilmu fiqh dan hadits, dan ia belajar ilmu fiqh kepada seorang ulama fiqh Mekah yang bernama Muslim Bin Khalid Al-Zanji. Adapun pelajaran hadits beliau berguru kepada Sufyan Bin ‘Uyainah. Kecerdasan beliau dalam belajar mandapat perhatian khusus dari gurunya, sehingga disaat berumur 15 tahun, beliau mendapatkan izin dari Muslim Bin Khalid Al-Zanji untuk berfatwa, namun beliau masih merasa belum layak untuk hal tersebut.[7] Perlu dicatat bahwa fiqh aliran Mekah berakar pada Ibnu ‘Abbas (seorang sahabat Nabi yang terkemuka). Ibnu ‘Abbas menetap dikota ini setelah ia tidak menjabat wali kota Basrah dimasa kahalifah Ali bin Abi Thalib. Di Mekah, Ibnu ‘Abbas dikenal sebagai guru yang mengajar Al-Qur`an, Tafsir, dan ilmu-ilmu lain yang berhungan dengan tafsir. Al-Syafi’i mewarisi ilmu-ilmu tersebut dari ulama Mekah. Ilmu-ilmu ini nampaknya sangat berpengaruh pada kitab Al-Risalah yang Ia Susun, yang sarat dengan penjelasan tentang metode memahami teks.[8] Setelah al-Syafi’i menginjak remaja, tepatnya pada tahun 170 H, ia meninggalkan Mekah untuk berguru kepada Imam Malik Bin Anas di Madinah. Beliau tinggal bersama Imam Malik sampai tahun 179 H (akhir hayat gurunya), dengan diselangi 2 tahun ketika Al-Syafi’i berkunjung ke Irak untuk pertama kalinya.[9] Fiqh aliran Madinah berakar pada Umar Bin khatab, Aisyah, Ibnu umar dan beberapa tokoh lain. Kemudian dilanjutkan pada generasi tabi’in oleh Sa’id Bin Al-Musayyab, ‘Urwah Bin Al-Zubair, Abubakar Bin Abdurrahman, ‘Ubaid’illah Bin Abdullah, Khadijah Bin Zaid, Sulaiman Bin Yasar, dan Al-Qasim Bin Muhammad. Ketujuh tokoh ini dikenal dengan sebutan Al-Fuqaha` Al-Sab’ah (tujuh serangkai ahli fiqh). Selain itu, di Madinah juga dikenal nama-nama ahli fiqh yang lain seperti Salim Bin Abdullah Bin Umar, Ibnu Syihab Al-Zuhri dan Yahya Bin Sa’id. Imam Malik Bin Anas yang merupakan guru Imam Syafi’i, dan para ahli fiqh seangkatannya adalah eksponen terakhir aliran fiqh Madinah, fiqh Madinah dikenal dengan aliran fiqh Hadits.[10] Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun, Imam Syafi’i berangkat ke Irak (Kufah dan Baghdad), disini Imam Syafi’i berkenalan dengan 2 orang murid Abi Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani, dan sering kali beliau bertukar pikiran dan berdiskusi dengan dengan 2 ulama tersebut dalam soal ilmu pengetahuan agama sehingga Imam Syafi’i dapat mengetahui aliran fiqh Irak yang agak jauh berbeda dengan aliran fiqh Madinah.[11] Fiqh aliran Irak berakar kepada Ibnu Mas’ud dan Ali Bin Abi Thalib. Sedang penerus dari kalangan tabi’in adalah Al-Qamah Bin Qayis, Masruq Bin Al-Ajda’, Al-Aswad Bin Yazid Shurayh Bin Al-Harith, Ibrahim Al-Nakh’i, Al-Sya’bi, Hammad Bin Sulaiman Al-Anshari, dan eksponen yang terakhir adalah Abu Hanifah dan Murid-muridnya, fiqh Irak dikenal dengan fiqh aliran ra`yi.[12] Setelah 2 tahun mengembara sambil meninjau antara Baghdad, Persia, Turki, dan Palestina, Imam Syafi’i kembali lagi Ke Madinah dan berguru lagi pada Imam Malik. Imam Malik bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i sehingga beliau memberi izin kepada Imam Syafi’i untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqh tanpa ketergantungan kepada salah satu mazhab tertentu. Imam Syafi’i menetap disini sampai akhir hayat Imam Malik pada tahun 179 H.[13] Setelah Imam Malik berpulang kerahmatullah, Imam Syafi’i melanjutkan pengembaraan mencari ilmu ke Yaman. Ditempat ini beliau menemukan fiqh peninggalan Mu’az Bin Jabal yang diterimanya dari Mutraf Bin Mazim dan Hisyam Bin Yusuf. Disini Imam Syafi’i juga mengenal fiqh Imam Al-Auza’i dari Umar Bin Abi Salamah, dan mengetahui aliran fiqh Imam Al-Layts Bin Sa’ad (seorang ulama fiqh Mesir) dari Yahya Bin Hasan.[14] Selama menetap di Yaman beliau mendapat cobaan yang berat, yaitu difitnah bersekongkol dengan kelompok ‘Alawiyin (keturunan Ali Bin Abi Thalib) yang dituduh memberontak terhadap pemerintahan Harun Al-Rasyid, sehingga beliau ditangkap bersama 9 orang ‘Alawiyin dan dibawa ke Baghdad. Setelah melalui pemeriksaan dari khalifah, akhirnya Imam Syafi’i dibebaskan dari segala tuduhan atas jasa Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani yang saat itu menjabat sebagai hakim agung di Baghdad.[15] Kemudian Imam Syafi’i memutuskan untuk kembali menetap di Irak dan berguru pada Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani. Pada lawatan kali ini ke Baghdad, Al-Syafi’i mulai banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh fiqh setempat. Ia mengikuti pelajaran Muhammad Bin Hasan, lalu berdebat dengan murid-murid Muhammad diluar jam pelajaran. Karena hubungannya yang lebih formal dengan Muhammad, Ia menghindari berdebat langsung dengannya. Tapi tak urung, Muhammad pun akhirnya mendesak Imam Syafi’i untuk berdebat dengannya. Sampai dengan tahap ini Al-Syafi’i masih menyatakan diri sebagai pendukung dan murid imam Malik serta pembela Al-Muwattha` yang lebih mengutamakan hadits dalam beristidlal ketimbang ra`yi, sehingga Al-Syafi’i saat itu digelar naashiru al-sunnah (pembela hadits). Situasi seperti ini berlangsung sekitar 2 tahun.[16] Sekembalinya dari Irak, Al-Syafi’i memutuskan untuk tinggal di Mekah yang merupakan tempat asalnya. Nilai khazanah keilmuan yang ia dapatkan dari Muhammad Bin Hasan dilukiskannya sebagai “semuatan unta”[17], dari pernyataan ini tampaknya ia sangat menganggap penting terhadap makna perkenalannya dengan fiqh aliran Irak bagi tonggak bangunan keilmuan yang ia gagaskan untuk masa-masa yang akan datang. Selang beberapa tahun tinggal, mengajar, dan berfatwa di Mekah, namun sampai saat itu Al-Syafi’i masih merasa belum sampai pada derajat mujtahid muthlaq. Fatwa-fatwa yang beliau keluarkan masih berdasarkan fatwa guru-gurunya yang didapatkan di Mekah, Madinah, maupun Irak. Mekah menjadi mimbar terbaik bagi Al-Syafi’i, karena Mekah merupakan tempat berkumpulnya jama’ah haji dari seluruh penjuru dunia. Pada kesempatan itu Al-Syafi’i ditemui oleh banyak ulama. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil serta keteguhannya mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam fiqh dan istinbath.[18] Tahap terpenting dalam karir keilmuan Al-Syafi’i adalah ketika beliau berkunjung ke Irak untuk ketiga kalinya. Saat itu Khalifah Harun Al-Rasyid telah meninggal dan digantikan oleh Al-Ma’mun. dan gurunya Muhammad Bin Hasan juga telah wafat. Lawatan ini tidak berlangsung lama, tapi momentum yang terpenting adalah ia memproklamasikan kebebasannya dari fatwa-fatwa gurunya. Artinya ia tampil dengan ijtihadnya sendiri dalam fatwa-fatwanya, hal ini terjadi pada tahun 198 H. sejak itu ia dikenal sebagai mujtahid muthlaq. Saat-saat inilah ia menyusun kitabnya yang terkenal dalam bidang ushul fiqh yaitu Al-Risalah. Pendapat-pendapat yang diutarakannya sampai dengan periode ini disebut “Qawl Qadim”. [19] Kehadiran Al-Syafi’i kali ini di Irak membawa metode fiqh yang baru. Ia tidak hanya berbicara tentang rincian-rincian hukum dalam fiqh, tetapi juga menawarkan kaedah-kaedah pokok dan dasar-dasar pemikiran. Gagasan-gagasan inilah yang ia terapkan untuk menghasilkan hukum-hukum positif (furu’). Ia berhasil dalam menampilkan fiqh sebagai satu kesatuan sebuah bangunan yang utuh, bukan ilmu tentang hukum-hukum yang berserakan. Ia juga menawarkan kaedah-kaedah umum dan bukannya fatwa-fatwa lepas.[20] Akhir pengembaraan intelektual Al-Syafi’i adalah ketika beliau pindah ke Mesir pada tahun 198 H. kebetulan saja khalifah Al-Ma’mun mengangkat ‘Abbas Bin Musa sebagai Gubernur Mesir. Dengan gubernur yang baru ini berangkatlah Imam Al-Syafi’i ke Mesir, ketika beliau berangkat dari Baghdad, keluarlah segenap penduduk kota Baghdad untuk menghormati keberangkatan beliau, diantara mereka ialah Ahmad Bin Hambal, seorang ulama besar di Baghdad saat itu dan merupakan salah seorang murid Al-Syafi’i.[21] Di Mesir Imam Syafi’i menetap sampai beliau wafat disana pada tahun 204 H. keberadaannya di Mesir dapat dikatakan sebagai fase terakhir dalam perjalanan intelektualnya sebagai seorang mujtahid. Pada masa inilah beliau sampai pada puncak kematangan pemikiranya sehingga beliau mengemukakan pendapat-pendapatnya yang baru. Di Mesir beliau banyak menemukan permasalahan-permasalahan baru yang belum pernah ditemukan di Hijaz dan di Irak. Disana beliau menemukan peradaban, adat-istiadat, serta peninggalan intelektual para tabi’in.[22] Selama di Mesir Al-Syafi’i banyak menemukan hadits-hadits yang baru pertama kali didengarnya, yaitu hadits-hadits yang dinukil dari murid-murid Imam Al-Layts Bin Sa’ad. Ia berusaha sekuat tenaga untuk dapat menguasai hadits-hadits tersebut dan hendak mempelajari sedalam-dalamnya fiqh aliran Mesir yang dikembangkan oleh Imam Al-Layts. Disini ia pun mengetahui pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat Imam Ali Bin Thalib yang tidak sempat dipelajari dan ditela’ah sebelumnya. Semua itu mendorongnya untuk lebih banyak berpikir dengan tetap berpegang pada jiwa hukum syari’ah.[23] Setelah beliau menemukan beberapa hal yang baru, dan melakukan penelitian-penelitian ulang, maka mulailah beliau meninjau kembali pendapat-pendapatnya mengenai berbagai masalah, terutama pendapatnya yang mengikuti dasar-dasar pemikiran gurunya baik di Madinah maupun Irak. Pada saat As-Syafi’i telah menyelesaikan peninjauan kembali terhadap fatwa-fatwa yang lama, memperbaiki pemikiran-pemikiran yang didasari oleh kecenderungan mengikuti fatwa guru-gurunya, maka beliau mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa hasil pemikiran dan pendapat-pendapatnya yang dapat dijadikan pegangan hanyalah yang di fatwa dan ditulisnya selama di Mesir. Fatwa dan pendapat beliau di Mesir kemudian dikenal dengan sebutan “Qawl Jadid”.[24] Setelah enam tahun tinggal di Mesir mengembangkan mazhabnya dengan lisan dan tulisan, merevisi kitab Al-Risalah (dalam ushul fiqh) dan menyusun kitab-kitab lain dalam jumlah yang banyak, maka beliau meninggal dunia diusia 54 tahun. Berkata Rabi’ Bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i), “Imam Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah sembahyang magrib, petang kamis malam jum’at, akhir hari bulan Rajab dan kami lihat hilal bulan Sya’ban 204 H”. dalam tarikh masehi bertepatan dengan 28 Juni 819 M. Guru-Guru Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mempelajari fiqh dan hadits dari para guru-guru yang tempat tinggal mereka saling berjauhan, dan guru-guru tersebut juga mempunyai metode keilmuan yang berbeda. Beliau memperoleh pelajaran dari gurunya di Mekah, Madinah, Yaman, dan Irak. Selama di Mekah beliau berguru kepada Sufyan Bin ‘Uyainah, Muslim Bin Khalid Al-Zanji, Sa’id Bin Salim Al-Qaddah, Daud Bin Abdurrahman Al-Aththar dan Abdul Hamid Bin Abdul Aziz Bin Abi Rawad. Di Madinah beliau berguru kapada Imam Malik Bin Anas, Ibrahim Bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz Bin Muhammad Al-Darwardi, Ibrahim Bin Abi Yahya Al-Ashami, Muhammad Bin Abi Sa’id Bin Abi Fudaid, dan Abdullah Bin Nafi’ Al-Shaigh.[25] Di Yaman beliau berguru kepada Muthraf Bin Mazin, Hisyam Bin Abi Yusuf, Umar Bin Abi Salamah, dan Yahya Bin Hasan. Adapun di Irak beliau berguru kepada Waki’ Bin Jarrah, Humad Bin Usamah, Ismail Bin Uliyah, Abdul Wahab Bin Abdul Majid, Muhammad Bin Hasan, dan Qadhi Bin Yusuf.[26] Dari uraian diatas dapat difahami bahwa Imam Syafi’i telah mempelajari ilmu dari sejumlah guru besar yang mempunyai aliran mazhab yang bermacam-macam, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Al-Syafi’i mengetahui semua aliran fiqh yang ada pada zamannya. Dengan demikian dalam diri Imam Syafi’i terkumpul berbagai corak fiqh yang berbeda-beda, dari ilmu yang banyak itulah terlahir sebuah paduan fiqh yang baik, yaitu yang menggabungkan setiap kecenderungan secara harmonis dan selaras yang lahir dari makna-makna yang dipadukan dan disajikan dengan teliti dan dengan gaya penjelasan yang mengagumkan.[27] Imam Syafi’i yang tumbuh dan dibesarkan di Mekah juga pernah belajar memahami tafsir Al-Qur`an dari para ulama ahli tafsir pengikut Ibnu ‘Abbas.[28] Sehingga dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur`an, Al-Syafi’i mengambil metode yang dipergunakan oleh Ibnu ‘Abbas, barangkali karena ini pulalah beliau mampu menghadirkan sesuatu yang baru kepada fuqaha` dizamannya.[29] Imam Syafi’i Penengah Antara Ahli Hadits dan Ahli Ra`yi. Sebagaimana telah disinggung diatas, pada mulanya Al-Syafi’i termasuk tokoh fiqh terkemuka dari aliran fiqh hadits. Dan melalui diskusi-diskusinya dengan Muhammad Bin Hasan Al-Syaibani di Baghdad, ia pun menguasai metodologi aliran fiqh ra`yi. Sejak periode tabi’in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahli hadits mencela kelompok ahli ra`yi karena meninggalkan sebagian hadits. Maka ahli ra`yi pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang ‘illah-’illah hukum dan maksud-maksud syari’ah.[30] Hanya saja yang perlu dicatat disini adalah ahli ra`yi bukan berarti menolak sama sekali pemahaman tekstual ataupun otoritas teks. Demikian pula ahli hadits, bukan berarti menolak sama sekali peranan rasio dalam memahami teks agama. Pemberian nama ini berkenaan dengan porsi penggunaan kedua kecenderungan tersebut pada masing-masing aliran.[31] Belakangan hari baru disadari dari kedua kecenderungan tersebut dalam fiqh Islam. Ahli hadits berjasa dalam pelestarian berbagai peninggalan atau riwayat dari masa-masa pertama Islam, seperti sunnah Nabi, pendapat-pendapat sahabat serta tabi’in, berikut keputusan-keputusan hukumnya, dan terpeliharanya fatwa-fatwa yang telah mereka keluarkan baik dalam catatan maupun dalam ingatan. Adapun pihak ahli ra`yi juga berjasa dalam mengumpulkan hadits-hadits dan fatwa-fatwa serta keputusan-keputusan dari para sahabat yang mereka temui. Jasa yang khas dari golongan ini adalah keberhasilan mereka dalam mengungkapkan alasan-alasan hukum (‘illah) dari Al-Qur`an dan sunnah Nabi. Hasilnya dipergunakan untuk mengahadapi masalah-masalah hukum baru. Ahli ra`yi rajin mempelajari dan mengolah serta mengkaji berbagai implikasi dari bab-bab ilmu fiqh untuk mencari dan menemukan hal-hal yang berguna dalam mengantisipasi kemungkinan perkembangan zaman. Dalam perkembangan selanjutnya ahli ra`yi mengalami pertumbuhan yang kian subur. Hal ini berkenaan dengan lingkungan tempat berkembangnya aliran ini, yakni daerah yang berbudaya maju, dan menghadapi persoalan-persoalan sosial yang baru.[32] Al-Syafi’i melihat kelebihan pada masing-masing aliran tersebut sebagai kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran hukum islam. Lantas mengambil kelebihan pada masing-masing dua aliran ini dan menolak kekurangannya.[33] Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa metode ijtihad yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i terlahir dari perpaduan antara dua aliran fiqh yang berbeda. Beliau memahami bahwa semua ketentuan hukum syari’at sudah terhimpun dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah. Jika tidak terdapat pada keduanya maka harus dicari didalam ijma’ (kesepakatan ulama). Namun bila tidak ditemukan ketentuan hukumnya didalam kitab, sunnah, dan ijma’, maka beliau harus mencarinya dengan jalan memeriksa, meneliti, dan mencari ‘illah hukum yang terdapat didalam nash Al-Qur`an dan hadits. Jika ‘illah hukum itu serupa atau mirip dengan ‘illah suatu kasus yang baru, maka ‘illah hukum yang terdapat didalam nash dapat dijadikan dasar untuk menetapkan ketentuan hukum mengenai kasus yang baru. Itulah yang disebut dengan qiyas.[34] Dengan metode qiyas, Al-Syafi’i berhasil meredakan konflik yang terjadi antara ahli hadits dan ahli ra`yi dan mampu menjembatani silang pendapat diantara kedua kubu tersebut. Sehingga Imam Syafi’i dikenal sebagai penengah diantara mazhab ahli hadits dan ahli ra`yi.[35] D. Murid-Murid Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mempunyai banyak murid yang selalu setia menimba ilmu Darinya pada ketiga fase intelektualnya. Baik pada saat menetap di kota suci Mekah, di Baghdad, maupun di Mesir. Adapun murid-murid beliau di Mekah adalah : 1. Abubakar Al-Humaidi (wafat pada tahun 219 H), beliau adalah seorang ulama fiqh sekaligus ulama hadits yang tsiqah (terpercaya) dan berstatus hafiz dalam ilmu hadits. Beliau ikut melakukan perjalanan bersama Al-Syafi’i ke Mesir, kemudian kembali lagi ke Mekah setelah Al-Syafi’i wafat. 2. Abu Ishaq Ibrahim Bin Muhammad Al-‘Abbasi (wafat pada tahun 237 H), beliau adalah seorang ulama hadits yang telah sampai kepada derajat hafiz dalam ilmu hadits. [36] 3. Abu Al-Walid Musa Bin Abu Al-Jarud, beliau adalah orang yang meriwayatkan kitab Al-Amali dari Imam Syafi’i. Kemudian menjadi penyebar mazhab Syafi’i di Mekah.[37] 4. Abdul Aziz Bin Yahya Al-Kanani, beliau adalah orang yang menyusun kitab Al-Hamidah. Sebelum berguru pada Imam Syafi’i beliau pernah belajar hadits pada Sufyan Bin ‘Uyainah.[38] Adapun Murid-murid Al-Syafi’i di Baghdad banyak sekali, tetapi yang menjadi penyambung lidah utama dari beliau adalah : 1. Abu Sur Al-Kalabi (wafat tahun 240 H), beliau adalah penduduk asli Baghdad yang pada mulanya belajar dan menganut mazhab para ulama Irak dari murid-murid Abu Hanifah, kemudian setelah Al-Syafi’i datang ke Baghdad, beliau belajar dan berguru kepada Al-Syafi’i. 2. Abu Ali Al-Hasan Al-Sahab Al-Za’farani (Wafat tahun 260 H), beliau berasal dari dusun Za’faran, lalu pindah dan menetap di Baghdad. Menurut riwayat, Al-Za’farani merupakan satu-satunya ulama yang terkenal menetapkan mazhab qadim Al-Syafi’i. 3. Husin Bin Ali Al-Karabisi (wafat tahun 240 H), beliau ini mulanya belajar ilmu fiqh kepada para ulama Baghdad. Setelah Al-Syafi’i tiba di Baghdad, maka beliau belajar kepada Al-Syafi’i. 4. Ahmad Bin Hanbal (wafat tahun 240 H), beliau termasuk salah seorang murid yang erat hubungannya dengan Al-Syafi’i, yang kemudian menjadi pembangun mazhab Hanbali. 5. Ishaq Bin Rahawaih (wafat tahun 277 H), beliau adalah seorang ulama dalam bidang ilmu hadits hingga mencapai derajat hafiz. 6. Al-Rabi’ Bin Sulaiman Al-Muradi (wafat tahun 270 H), beliau merupakan orang yang dipercayakan oleh Al-Syafi’i untuk mengimla`kan fatwa-fatwanya, beliau juga menetap di Mesir saat Al-Syafi’i pindah ke Mesir.[39] Disaat Al-Syafi’i menetap di Mesir, murid-murid beliau adalah : 1. Al-Rabi’ Bin Sulaiman Al-Muradi (wafat tahun 270 H) yang datang bersama Al-Syafi’i dari Baghdad. 2. Abdullah Bin Zubir Al-Humaidi (wafat tahun 219 H) yang juga datang bersama Al-Syafi’i dari Baghdad. 3. Abu Ya’kub Yusuf Bin Yahya Al-Buwaithi (wafat tahun 232 H), beliau adalah seorang ulama yang ditunjuk langsung oleh Al-Syafi’i untuk menjadi penggantinya di majelis pengajarannya. 4. Abu Ibrahim Ismail Bin Yahya Al-Muzani (wafat tahun 264 H), beliau adalah seorang faqih yang berpengetahuan sangat luas dan mendalam, Al-Syafi’i pernah berkata “Al-Muzani adalah pembela Mazhabku”. 5. Al-Rabi’ Bin Sulaiman Al-Jaizi (wafat tahun 256 H), beliau adalah seorang murid Al-Syafi’i yang terkenal dengan kesalihannya. 6. Harmalah Bin Yahya Al-Tujibi (wafat tahun 266 H), beliau merupakan murid Al-Syafi’i yang mempunyai kharisma yang cukup besar. 7. Yunus Bin Abdil A’la (wafat tahun 264 H), beliau pada awalnya belajar ilmu hadits kepada Sufyan Bin ‘Uyainah dan Ibnu Wahbin, kemudian belajar ilmu fiqh secara mendalam kepada Al-Syafi’i. 8. Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Hakam (wafat tahun 268 H), beliau adalah salah seorang ulama yang mendengar langsung kitab-kitab yang dibacakan oleh Al-Syafi’i. 9. Ahmad Bin Sitti bin Al-Wazir Al-Misri (wafat tahun 251 H), pada awalnya beliau belajar kepada Syu’aib Bin Layts dan Asbagh Bin Al-Farj. Setelah Imam Syafi’i menetap di Mesir beliau berguru ilmu fiqh kepada Al-Syafi’i secara mendalam. 10. Dan lain-lain.[40] Kitab-Kitab Karya Imam Syafi’i. Sebagaimana para pendahulunya, Al-Syafi’i juga meninggalkan kitab-kitab yang bermutu tinggi dan sangat berguna bagi dunia islam. Kitab-kitab karya Al-Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, yaitu yang ditulis oleh Al-Syafi’i sendiri dan yang diimla`kan kepada para muridnya.[41] Kitab-kitab yang dinisbahkan kepada Al-Syafi’i sebagai berikut : 1. Al-Risalah sebahagian ahli sejarah mengatakan bahwa Al-Syafi’i menyusun kitab ini dua kali, kali pertama disusunnya di Mekah atas permintaan seorang ulama muda Mekah yang bernama Abdurrahman Bin Mahdi, beliau memohon kepada Al-Syafi’i agar menyusun satu kitab yang menerangkan tentang makna Al-Qur`an, hal-hal yang berkaitan dengan dalil-dalil hukum, dan permasalahan nasikh dan mansukh.[42] Menurut Ahmad Muhammad Syakir, Al-Syafi’i pertama kali menyusun Al-Risalah di Baghdad, karena pada saat itu Abdurrahman Bin Mahdi sedang berada di Baghdad. Al-Risalah yang disusun oleh Al-Syafi’i di Baghdad dinamakan Al-Risalah Al-Qadimah. Pada ketika Al-Syafi’i menetap di Mesir, beliau merevisi kandungan kitab Al-Risalah dan memperbaikinya kembali yang kemudian dinamakan Al-Risalah Al-Jadidah. Seiring berjalannya waktu, kitab Al-Risalah versi Baghdad telah hilang dari peredaran. Sehingga yang ada ditangan ilmuan dan pembaca sekarang hanyalah Al-Risalah versi Mesir.[43] Kitab ini khusus membicarakan tentang metode istinbath hukum dari Al-Qur`an dan hadits, dan cara-cara beristidlal dari ijma’ dan qiyas. Perawinya adalah Al-Rabi’ Bin Sulaiman Al-Muradi.[44] Dengan demikian, metode ijtihad Al-Syafi’i yang tertuang dalam kitab Al-Risalah adalah metode ijtihad untuk membentuk qawl jadid. 2. Al-Umm Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam Al-Risalah. Jumlah masalah dalam kitab Al-Umm lebih dari 140 bab.[45] 3. Kitab Ibthalul Istihsan. Sebagai sanggahan terhadap para fuqaha` dari mazhab Hanafi 4. Kitab Jima’ul Ilmi. Sebagai pembelaan terhadap sunnah dan pengamalannya. 5. Kitab Ikhtilaf Al-Hadits 6. Kitab Ikhtilaf Malik wa Al-Syafi’i 7. Kitab Al-Rad ‘Ala Muhammad Bin Hasan. 8. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila 9. Kitab Khilaf Ali wa Ibnu Mas’ud 10. Kitab Siyar Al-Auza’i 11. Kitab Al-Musnad Al-Syafi’i, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya. 12. Kitab Al-Imla’ 13. Kitab Al-Amali 14. Kitab Harmalah, yang didektekan kepada muridnya yang bernama Harmalah Bin Yahya 15. Kitab Mukhtasar Al-Muzani (dinisbahkan kepada Al-Syafi’i) 16. Kitab Al-Hujjah, berisi qawl-qawl qadim Al-Syafi’i. 17. Kitab Mukhtasar Al-Buwaiti (dinisbahkan kepada Al-Syafi’i).[46] [1]Munawar Chalil, Biografi Empat Imam Serangkai, Cet XI, (Jakarta : Bulan Bintang, 2005), hal. 91. [2]Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Aqidah, Politik, dan Fiqh, Cet I, (Jakarta : Lentera Barasmita, 2005), hal. 28. [3]Abd Rahman Bin Abi Hatim Al-Razi, Adab Al-Syafi’i Wa Manaqibuhu, Cet. I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 19. [4]Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Cet V, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1991), hal. 15. [5]Abdul Mun’im Shaleh, Mazhab Syafi’i, Kajian Konsep Mashlahah, Cet I, (Yogyakarta : Ittaqa Press, 2001), hal. 8. [6]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Manaqib Imam Syafi’i, Cet I, (Jakarta : Cendikia Sentra Muslim, 2001), hal. 42. [7]Muhammad Bin Abdul Wahab Al-Aqil, Manhaj Aqidah Imam Syafi’i, Cet IV, (Jakarta : Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hal. 42. [8]Abd Rahman Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Cet. I, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), hal. 385. [9]Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 20. [10]Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fiqh Islam, Cet. I, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 112. Lihat juga Al-Nawawi, Irsyad Al-Thulab Al-Haqaiq, Cet. II, (Beirut : Dar-Al-Basyair Al-Islamiyah, 1991), hal. 200. [11]Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 24. [12]Mun’im Shaleh, Mazhab Syafi’i…, hal. 10. [13]Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 25. [14]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 70. [15]Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam…, hal. 403. [16]Ibid, hal. 409. [17]Abi Hatim Al-Razi, Adab Al-Syafi’i…, hal. 26. [18]Wahab Al-Aqil, Manhaj Aqidah…, hal. 34. [19]Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 31. [20]Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan…, hal. 413. [21]Chalil, Biografi Empat…, hal. 123. [22]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 241. [23]Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan…, hal. 375. [24]Ibid, hal. 377. [25]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 70. [26]Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 118. [27]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 72. [28]Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan…, hal. 385. [29]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 76. [30]Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, Edisi I, (Bogor : Kencana, 2003), hal. 28. [31]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 116. [32]Mun’im Shaleh, Mazhab Syafi’i…, hal. 14. [33]Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Jld II, Cet I, (Beirut : Maktabah Al-‘Ashriyyah , 2006), hal. 168. [34]Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan…, hal. 413. [35]Ibid, hal. 396. [36]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 243. [37]Tajuddin Al-Subki, Thabaqat Al-Syafi’iyah Al-Kubra, Jld. I, Cet I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1999), hal. 382. [38]Ibid, hal. 367. [39]Chalil, Biografi Empat…, hal. 143. lihat juga Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 139. [40]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 247. lihat juga Wahab Al-Aqil, Manhaj Aqidah…, hal. 74. lihat juga Abbas, Sejarah dan Keagungan…, hal. 141. [41]Huzaemah Tahidi Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Cet. I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 133. [42]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 256. [43]Ahmad Muhammad Syakir, Muqaddimah Al-Risalah, (Kairo : Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, n.d), hal. 11. [44]Chalil, Biografi Empat…, hal. 154. [45]Wahab Al-Aqil, Manhaj Aqidah…, hal. 79. [46]Tahidi Yanggo, Pengantar Perbandingan…, hal. 135. BAB III PROSES LAHIRNYA QAWL JADID A. Metode Ijtihad Imam Syafi’i Kata metode berasal dari istilah bahasa Yunani yang berarti “cara yang teratur untuk memahami suatu maksud”.[1] Bila dikaitkan dengan dunia ilmiah, maka metode merupakan cara bagaimana memahami objek yang menjadi kajian ilmu pengetahuan. Dalam menerapkan suatu metode harus disesuaikan dan dipertimbangkan dengan lapangan studi.[2] Artinya, memilih metode mana yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dibahas. Hukum fiqh merupakan karya nyata hasil ijtihad para imam mujtahid. Dalam memformulasikan hukum fiqh secara rinci, mereka mengacu kepada metode berpikir masing-masing. Metode berpikir yang mereka rumuskan itu menentukan hasil ijtihadnya. Imam Syafi’i salah seorang mujtahid muthlaq, mempunyai metode sendiri. Sehingga hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid lain dalam masalah-masalah tertentu. Dengan demikian, metode dalam kaitannya dengan ijtihad ialah cara yang ditempuh oleh seorang mujtahid untuk memperoleh ketentuan hukum fiqh dari dalil-dalil yang terperinci. Sebagaimana yang dibahas dalam disiplin ilmu ushul fiqh.[3] Mengkaji metode istinbath atau ijtihad Imam Syafi’i, berarti menela’ah bagaimana cara Imam Syafi’i mengistinbathkan hukum amali dari dalil Al-Qur`an dan sunnah, serta metode apa yang dipakainya dalam menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak terdapat dalil nashnya. Kemudian bagaimana pula cara Al-Syafi’i menetapkan dalil dari nash Al-Qur`an dan sunnah. Rumusan cara berpikir Imam Syafi’i itu secara sistematis tertuang dalam kitab Al-Risalah. Kemapanan cara berpikir Imam Syafi’i terlihat dalam penyusunan urutan dalil yang dipakainya dalam mengistinbathkan hukum, yaitu Al-Qur`an, Al-sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Dalam Al-Risalah beliau menegaskan : وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو القياس[4] Artinya : “Dan jalan mendapatkan ilmu adalah pernyataan dalam kitab atau sunnah atau ijma’ atau qiyas” Boleh dikatakan hampir semua mazhab mengambil kerangka berpikir yang dirumuskan Imam Syafi’i, yang dikenal dengan ushul fiqh Imam Syafi’i. diakui, pengembangan berikutnya terjadi penyempurnaan dan penjelasan yang lebih rinci sehingga memberi kemudahan dalam memahami kerangka aslinya.[5] Selain Al-Qur`an, Al-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas, Mazhab Syafi’i juga memakai “istishhab” sebagai metode ijtihad dalam mengistinbathkan hukum syara’ bila ketentuan hukumnya tidak terdapat pada keempat dalil hukum diatas.[6] Dalam pembahasan berikut penulis akan menguraikan dalil-dalil hukum yang digunakan oleh Al-Syafi’i dalam berijtihad, dan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh beliau dalam merumuskan fiqhnya. 1. Dalil-Dalil Hukum. a. Al-Qur`an Menurut ulama ushul fiqh, Al-Qur`an didefinisikan sebagai berikut : القرأن هو كلام الله تعالى المنزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم بالسان العربي للإعجاز بأقصر سورة منه المكتوب فى المصاحف المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة المختوم بسورة الناس. [7] Artinya : “Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dalam bahasa Arab yang mengandung mu’jizat dengan surat yang paling singkat, yang termaktub dalam mushaf, disampaikan dengan jalan mutawatir dan membacanya menjadi ibadat, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan disudahi dengan surat An-Nas”. Dengan demikian, Al-Qur`an merupakan kumpulan wahyu yang telah mengambil wujud nyata. Imam Syafi’i memakai istilah Al-Kitab untuk nama Al-Qur`an.[8] Menurutnya al-kitab itu tidak lain kecuali adalah kumpulan wahyu Allah. Wahyu Allah ada yang langsung disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur`an. Dan ada yang tidak disampaikan langsung oleh Malaikat Jibril, yaitu yang disebut dengan sunnah. Dengan demikian wahyu yang dibaca langsung oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW disebut wahyu “matlu”, sedangkan wahyu yang tidak dibacakan langsung oleh Malaikat Jibril disebut wahyu “ghairu matlu”.[9] Hal ini didasarkan kepada firman Allah yang berbunyi : وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى Artinya : “Dan tidaklah yang diucap oleh Nabi Muhammad itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (Q. S. An-Najm : 3-4) Atas dasar inilah, Imam Syafi’i mengatakan bahwa al-kitab dan al-sunnah itu semartabat. Artinya semua sumber hukum yang lain harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya, karena keduanya merupakan wahyu yang datang dari Allah SWT, yang menjadi syari’at islam. Namun dalam penggunaan keduanya sebagai argumentasi yang bersifat parsial, Imam Syafi’i tidak menyamakan keduanya secara mutlak. Dari sisi sanad, Al-Qur`an tidak ada bandingannya, sedangkan sunnah memiliki sanad yang bermacam-macam. Keberadaan sunnah yang mempunyai sanad yang beragam ini, membuatnya tidak berada dalam satu tingkat yang sama, sehingga untuk menjadikannya sebagai hujjah harus mengikuti derajat sanadnya.[10] Bagi Imam Syafi’i, selain memuat ketentuan hukum, al-kitab juga menekankan supaya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, Al-Qur`an merupakan sumber asasi, dan sunnah berfungsi sebagai sumber bayani.[11] Sama dengan ahli ushul fiqh yang lain, Imam Syafi’i menempatkan kedudukan al-kitab sebagai sumber hukum islam yang utama dan pertama. Sebagai sumber hukum, para ahli ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa ayat-ayat Al-Qur`an yang menjadi dalil hukum disebut dengan ayat ahkam, dan jumlahnya relatif sedikit. Kecuali itu, ayat ahkam hanya memuat ajaran-ajaran pokok yang bersifat global, dan sebagian besar berisi ketentuan-ketentuan hukum secara ijmali.[12] Al-Ghazali umpamanya, menetapkan ayat-ayat ahkam sebanyak 500 ayat.[13] Sama dengan Al-Ghazali, Al-Syawkani juga menetapkannya sekitar 500 ayat, yang hanya memuat ajaran-ajaran dasar.[14] Sementara Abdul Wahab Khallaf menetapkannya hanya 228 ayat. Artinya, selain 228 ayat itu tidak termasuk dalam ayat ahkam.[15] Diantara hikmah syari’at islam dalam masalah hukum, umumnya hanya memuat aturan dasar yang bersifat global adalah untuk memberi kesempatan kepada para ulama menggunakan nalarnya dalam memecahkan problema yang menghendaki penyelesaiannya secara hukum, maka kepada ulama dituntut bekerja keras untuk merumuskan masalah-masalah yang ketentuan hukum tidak ditegaskan oleh nash Al-Qur`an dan hadits. Dengan demikian, syari’at islam terus eksis dan relevan untuk sepanjang masa.[16] Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab memiliki kosa kata yang luas, dan terkadang mempunyai lebih dari satu arti dalam satu kata. Dalam mengistinbathkan hukum, memahami setiap arti kata yang terdapat dalam nash menjadi sangat penting bagi seorang mujtahid. Kecuali itu dalam Al-Qur`an dan sunnah juga terdapat istilah-istilah khusus yang berkaitan dengan pembahasan lafaz dan dilalah lafaz. Berikut ini penulis akan menjelaskan istilah-istilah tersebut, antara lain lafaz ‘am, khas, musytarak, hakikat, majaz, dilalah lafaz, dan nasakh, dalam kaitannya dengan penetapan hukum menurut pandangan Imam Syafi’i dan para pendukung mazhabnya. 1. Lafaz ‘Am. Menurut istilah ushul fiqh, ‘am adalah “suatu lafaz yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada satu makna yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas pada satu jumlah tertentu”.[17] Lafaz insan umpamanya, mencakup semua yang namanya manusia. Dilihat dari segi penerapan lafaz ‘am, ulama ushul fiqh membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu : a) Lafaz ‘am yang dikehendaki darinya adalah ‘am.[18] Artinya, lafaz ‘am dan maksudnya juga ‘am. ‘Am dalam bentuk ini tidak didapatkan indikasi untuk memberlakukan takhsis padanya. b) Lafaz ‘am yang mengandung pernyataan umum, tetapi dikehendaki darinya adalah khusus.[19] ‘Am dalam bentuk ini terdapat indikasi yang memalingkan arti ‘amnya. c) Lafaz ‘am yang mutlak, artinya tidak diperdapatkan tanda-tanda untuk dikehendaki kepada umum ataupun kepada khusus.[20] Imam Syafi’i berpendapat bahwa dilalah lafaz ‘am kepada satuan-satuannya adalah zanni.[21] Menurutnya dalam lafaz ‘am itu mencakup semua satuan-satuan yang tidak jelas sasarannya. Satuan mana yang dikehendaki oleh nash tidak dapat diketahui sebelum ada indikasi dari nash lain. Ayat-ayat Al-Qur`an dan sunnah yang berbentuk ‘am, dilalahnya adalah zanni. Atas dasar inilah Imam Syafi’i membolehkan takhsis ‘am Al-Qur`an dengan hadits ahad.[22] Alasannya, ‘am Al-Qur`an dilalahnya zanni, sama dengan dilalah hadits ahad. Dilihat dari segi dilalah, antara ‘am Al-Qur`an dan hadits ahad adalah sejajar.[23] Menurut Imam Syafi’i, seperti diungkapkan oleh Zakiyuddin Sya’ban, bahwa satuan yang tinggal setelah ditakhsis dilalahnya tetap zanni. Demikian juga terhadap ‘am yang tidak menerima takhsis, dilalah satuan-satuannya tetap zanni.[24] Dengan demikian Imam Syafi’i membolehkan takhsis Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, hadits dengan hadits, dan bahkan ‘am Al-Qur`an boleh ditakhsiskan dengan hadits ahad.[25] Apabila terjadi pertentangan antara makna khas dan ‘am, seperti nash ‘am menetapkan hukum haram sesuatu dan nash khas menetapkan tidak haram hukumnya, menurut imam Syafi’i bila terjadi seperti itu harus diamalkan sesuai dengan ketentuan masing-masing, sebab nash ‘am dilalahnya zanni, sedangkan nash khas dilalahnya qath’i, keduanya tidak boleh dipertentangkan. Maka nash ‘am yang zanni belum boleh diamalkan sebelum dikaji nash khas yang qath’i. dan yang kedua itulah akhirnya yang diamalkan. Kecuali kalau ‘am itu tidak ada pentakhsisnya, maka saat itu diperlukan penalaran.[26] 2. Lafaz Khas. Menurut ulama ushul, khas ialah “Suatu lafaz yang diperuntukkan bagi suatu makna tertentu.[27] Umpamanya lafaz Muhammad, makna yang dikandung nya adalah satu orang yang tertentu. Menurut imam Syafi’i dilalah lafaz khas adalah qath’i, maka hukum yang diambil darinya juga bersifat qath’i. hal ini berlaku selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari arti asli. Dengan demikian, bila ada dalil yang mendorong penggunaan lafaz khas kepada makna majazi, maka dilalah lafaz khas bukan lagi bersifat qath’i.[28] 3. Lafaz Musytarak. Para ahli ushul fiqh hampir mempunyai pandangan yang sama tentang definisi lafaz musytarak, yaitu “Suatu lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-beda”.[29] Perbedaan arti dalam lafaz musytarak kebanyakan bersifat lughawi. Lafaz “quru`” umpamanya, mempunyai dua arti yaitu suci dan haid. Pemilihan terhadap suatu arti yang terdapat pada lafaz musytarak mesti disertai oleh indikasi-indikasi tertentu. Imam Syafi’i berpendapat hanya boleh menggunakan salah satu arti dari lafaz musytarak. Pada contoh diatas, ia memilih arti suci.[30] Sementara sebagian pengikutnya membolehkan penggunaan semua arti lafaz musytarak secara bersamaan bila ada indikasi yang menghendakinya.[31] Ketiga macam lafaz yang telah dikemukakan diatas yaitu ‘am, khas, musytarak, banyak dijumpai dalam nash Al-Qur`an dan hadits. Imam Syafi’i menetapkan hukum berdasarkan nash Al-Qur`an dan hadits terlebih dahulu meneliti nash yang menjadi dalil hukum tersebut dari segi lafaznya. Setelah diketahui kedudukan lafaz nash tersebut secara jelas, barulah ditetapkan hukum dengan nash. Penerapan ketiga lafaz tersebut dalam menetapkan hukum menjadi sebab terjadinya perbedaan hasil ijtihad yang dilakukan para mujtahid. 4. Hakikat. Menurut Jumhur Ushuliyin, hakikat adalah “Suatu lafaz yang digunakan menurut arti asli yang dikandungnya”.[32] Lafaz hakikat disebut juga dengan lafaz sejati. Jika pemakaian lafaz hakikat itu sesuai dengan istilah bahasa, maka disebut “hakikat lughawiyah”. Seperti lafaz al-asad, arti hakikatnya hayawanun muftarisy (hewan yang menerkam). Jika pemakaiannya sesuai dengan istilah syara’, maka dinamakan “hakikat Syar’iyah”. Seperti lafaz shalat, arti hakikatnya suatu ibadat yang berbentuk khusus. Dan jika pemakaiannya sesuai dengan istilah adat kebisaaan yang umum, maka dinamakan “hakikat ‘urufiyah”. Seperti lafaz dabbah, arti hakikatnya semua binatang yang berkaki empat.[33] 5. Majaz. Menurut Jumhur ushuliyin, majaz adalah “Suatu lafaz yang digunakan bukan menurut makna hakikatnya, karena ada hubungan antara dua makna tersebut dan ada qarinah yang memalingkannya.[34] Sama dengan lafaz hakikat, lafaz majaz juga terbagi kepada “majaz lughawiyah” seperti lafaz insan digunakan untuk makna nathiq, “majaz Syar’iyah” seperti lafaz ‘aqad digunakan bermakna suatu perikatan, dan “majaz ‘urufiyah” seperti lafaz dabbah digunakan bermakna manusia yang dungu.[35] Dengan memperhatikan uraian diatas, bahwa setiap lafaz hakikat harus diamalkan sesuai menurut arti aslinya. Apakah dalam bentuk fi’il amar atau nahi maupun dalam bentuk isim. Menurut ulama Syafi’iyah, suatu lafaz yang sulit ditentukan arti hakikatnya bisa digolongkan kepada majaz. Jumhur ulama berpendapat, menggunakan suatu lafaz yang didalamnya terkandung makna hakiki dan makna majazi adalah boleh.[36] Akan tetapi menurut Imam Syafi’i bila antara arti hakikat dan majaz bertentangan, maka yang didahulukan adalah arti hakikat, kecuali bila ada indikasi yang menghendaki bahwa arti majaz yang lebih sesuai untuk dipakai.[37] 6. Dilalah Lafaz. Imam Syafi’i dan sebahagian ahli ushul fiqh, seperti dikemukakan Zakiyuddin Sya’ban, membagi dilalah lafaz kepada manthuq dan mafhum.[38] Berikut akan diuraikan satu persatu. a. Manthuq, terbagi pula kepada : 1) Manthuq sharih, “Ialah makna yang segera dapat difahami dan makna itulah yang dimaksud oleh teks nash”.[39] Tegasnya, manthuq sharih ialah makna tersurat yang difahami melalui dilalah muthabaqah dan tadhammun. 2) Manthuq ghairu sharih, terbagi kepada : a) Dilalah iqtidha’, yaitu “Pentunjuk lafaz yang tidak langsung disebut oleh nash, pengertiannya baru dapat difahami setelah diberi tambahan dengan lafaz lain yang tidak bertentangan dengan tujuan nash dan sesuai menurut akal”.[40] b) Dilalah ima`, yaitu “petunjuk lafaz yang melazimi maksud nash atau hukum yang disertai dengan sifat, seandainya sifat itu tidak ada, maka hukum itu juga tidak ada”.[41] c) Dilalah isyarah, yaitu “Petunjuk lafaz terhadap suatu hukum yang diperoleh bukan dari pembicaraannya, tetapi melalui isyaratnya”.[42] b. Dilalah Mafhum, terbagi kepada : 1) Mafhum muwafaqah, yaitu “Hukum yang tidak disebutkan oleh nash tetapi sesuai dengan hukum yang tersebut dalam nash”.[43] Apabila hukum yang difahami lebih utama dari hukum yang disebutkan nash dinamakan fahwa al-khitab. Tetapi bila hukum yang difahami sejajar dengan hukum yang disebutkan nash maka dinamakan lahnu al-khitab.[44] Menurut Imam Syafi’i, dilalah mafhum secara muwafaqah adalah melalui jalan qiyas aulawi atau musawi, yang keduanya disebut qiyas al-jali.[45] 2) Mafhum mukhalafah, yaitu “hukum yang tidak disebutkan nash yang menyalahi dengan hukum yang tersebut dalam nash”.[46] Tegasnya, hukum yang ditetapkan dengan mafhum berbeda dengan hukum yang difahami. Mafhum mukhalafah terdiri dari mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, mafhum hasar, mafhum laqab, dan mafhum ‘adat. Dalam merumuskan hukum melalui metode mafhum mukhalafah, Imam Syafi’i tidak menggunakan mafhum laqab sebagai metode istinbath.[47] Dengan demikian, Imam Syafi’i membuat satu teori dalam memahami makna dilalah nash. Dengan memahami dilalah yang terdapat dalam nash, berarti hukum yang secara manthuq tidak disebutkan, tetap dapat diketahui melalui metode mafhum. 7. Nasakh. Menurut para ulama ushul, nasakh adalah “Titah Allah yang mencegah kelangsungan berlaku hukum Syar’i terdahulu dengan ketentuan Allah pula.[48] Maksudnya hukum yang telah ditetapkan Allah dihapus oleh ketentuan Allah yang datang kemudian. Yang berhak menghapus hukum Syar’i yang ditetapkan oleh Allah adalah Allah sendiri. Titah Allah yang datang kemudian disebut nasikh, sedangkan titah terdahulu disebut mansukh. Yang diamalkan adalah hukum yang datang kemudian, karena hukum terdahulu tidak berlaku lagi.[49] Imam Syafi’i mengakui keberadaan nasakh dalam islam dengan menjelaskan, Allah ta’ala telah menurunkan kitab sebagai petunjuk dan rahmat bagi hamba-Nya. Didalam kitab, Allah mewajibkan berbagai kewajiban, dan Allah pula berhak menghapus sebagian kewajiban yang lain, karena untuk memberi rahmat dan kelonggaran bagi hamba-Nya.[50] Teori nasakh yang dipakai Imam Syafi’i berbeda dengan teori nasakh yang dipegang oleh Jumhur ulama yang lain. Menurutnya, nasakh hanya berlaku terhadap al-kitab dengan al-kitab atau al-sunnah dengan al-sunnah. Ia menjelaskan, Allah telah menegaskan bahwa ketentuan dalam al-kitab hanya bisa dihapuskan oleh al-kitab sendiri. Artinya al-sunnah tidak bisa menghapus hukum yang terdapat dalam al-kitab. Karena al-sunnah, justru harus mengikuti ketentuan yang terdapat dalam al-kitab, baik dalam memberikan penegasan atau penjelasan.[51] Sedangkan kebolehan sunnah menasakhkan sunnah, Imam Syafi’i menjelaskan, jika suatu keputusan telah ditetapkan Rasulullah SAW, kemudian turun wahyu yang menghendaki lain, artinya hukum yang ditentukan Rasulullah berbeda dengan ketentuan yang terkandung dalam wahyu, maka Rasulullah SAW segera mengambil keputusan susulan yang sesuai dengan maksud wahyu, dan sekaligus membatalkan keputusannya yang terdahulu. Kecuali itu, sunnah yang menasakhkan sunnah itu dapat dipandang masih sederajat, karena redaksi dan susunan bahasanya dibuat sendiri oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian menurut Imam Syafi’i keumuman yang terdapat dalam sunnah dapat ditakhsiskan pula oleh sunnah yang lain.[52] b. Al-Sunnah. Dalam membicarakan al-sunnah sebagai sumber hukum setalah Al-Qur`an, penulis akan menguraikan definisi sunnah, kedudukannya, pembagiannya, dan fungsinya. 1. Definisi Al-Sunnah. Menurut istilah ushul fiqh pengertian sunnah adalah : كل ما صدر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير[53] Artinya : “Apa saja yang bersumber dari Rasulullah SAW. Baik perkataan, perbuatan, maupun pengakuan”. Dengan demikian sunnah terdiri dari tiga bentuk, yaitu sunnah qawliyah, sunnah fi’liyah, dan sunnah taqririyah. 2. Kedudukan Sunnah. Imam Syafi’i menetapkan sunnah sebagai sumber hukum islam kedua yang wajib diikuti, sama halnya dengan Al-Qur`an. Untuk mendukung pendapatnya ia mengajukan beberapa dalil, baik berupa naqli (ayat-ayat Al-Qur`an) maupun dalil ‘aqli (rasio). Imam Syafi’i mengemukakan bahwa Allah SWT secara tegas mewajibkan manusia menta’ati, mengikuti, dan menerima apa yang disampaikan Rasulullah. Karena ment’ati Rasulullah pada hakikatnya adalah ta’at kepada Allah. Sehingga jelaslah bahwa menerima petunjuk Rasulullah berarti menerimanya dari Allah. Dalam hal ini beliau menegasakan : ومن قبل عن رسول الله فمن الله قبل لما افترض الله من طاعته[54] Artinya : “ Siapa saja menerima ketentuan hukum dari Rasullah, berarti pada hakikatnya dia menerimanya dari Allah, karena Allah mewajibkan untuk mentaati Rasulullah”. Menurutnya kata-kata al-hikmah yang beberapa kali disebutkan bersamaan dengan al-kitab, tidak mungkin ditafsirkan kecuali dengan sunnah.[55] Sejalan dengan pandangannya tentang kokohnya kedudukan sunnah, Al-Syafi’i menegaskan bahwa bila telah ada hadits yang shahih dari Rasulullah SAW, maka dalil-dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi.[56] Jadi, bila seseorang telah menemukan hadits shahih, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima dan mengikutinya. Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh sunnah harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi. Al-Syafi’i menegaskan, mempertanyakan mengapa dan bagaimana terhadap sunnah adalah sesuatu yang keliru.[57] Hal ini dikemukakannya dengan alasan rasional. Jika hukum yang ditetapkan oleh sunnah masih dipertanyakan, dengan penggunaan qiyas dan rasio, maka tidak akan pernah ada kata putus yang dapat dijadikan sebagai patokan, dan ini akan meruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum.[58] Setelah menegaskan kedudukan sunnah sebagai hujjah, Al-Syafi’i menjelaskan pula bahwa kehujjahan sunnah itu bersifat umum, berlaku untuk semua masalah yang diaturnya tanpa kecuali. Menurutnya tindakan sesorang yang suatu saat mengambil sunnah sebagai dalil, tetapi pada kali yang lain ia meninggalkanya, adalah satu tindakan kurang insaf, bahkan tindakan yang salah.[59] Dengan demikian, jelaslah sikap dan pendirian Imam Syafi’i dalam menempatkan sunnah sebagai sumber hukum yang kedua dan menurutnya menerima sunnah merupakan salah satu bentuk ta’at kepada Allah.[60] 3. Pembagian Al-Sunnah. Dari beberapa literature mengungkapkan bahwa Jumhur Syafi’iyah membagi sunnah dari segi sanadnya kepada sunnah mutawatir dan sunnah ahad.[61] a. Sunnah Mutawatir, ialah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok jama’ah dari sekelompok jama’ah dan demikianlah seterusnya, yang mana jumlah jama’ah tersebut tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk berdusta.[62] Sunnah mutawatir yang berkenaan dengan masalah hukum biasanya mutawatir dalam bentuk qawliyah dan fi’liyah, karena apa yang diucapkan Rasulullah langsung dipraktekkannya dengan perbuatan. Seperti cara mengerjakan shalat dan haji.[63] Imam Syafi’i menamakan sunnah mutawatir dengan khabar ‘ammah. Ia memandang kebenaran sunnah mutawatir itu pasti, sehingga mutlak harus diterima sebagai dalil.[64] b. Sunnah Ahad, ialah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih pada setiap tingkatan sampai kepada Rasulullah.[65] Sunnah ahad tidak sampai kepada derajat mutawatir dan banyak digunakan dalam menetapkan hukum fiqh. Imam Syafi’i yang menyebut sunnah ahad dengan nama khabar khassah dan khabar wahid, menerima sunnah ahad sebagai dalil dengan ada beberapa ketentuan, yaitu sanadnya harus bersambung kepada Rasulullah, perawinya terpercaya dalam agama, jujur dalam periwayatan dan pintar serta kuat ingatan dalam menerima sunnah. Imam Syafi’i sangat teliti dan cermat terhadap sanad hadits. Menurutnya perawi yang meriwayatkan suatu hadits harus tahu persis lafaznya seperti yang didengarnya, dan harus tahu pula kesudahan hadits tersebut sampai pada sahabat atau Rasulullah.[66] Selain hadits mutawatir dan ahad, Imam Syafi’i juga menerima hadits mursal sahabat atau tabi’in senior sebagai dalil hukum, dengan ketentuan : 1) Makna hadits tersebut sesuai dengan hadits yang diriwayatkan secara bersambung sanad kepada Rasulullah SAW oleh para penghafal hadits yang terpercaya, maka itu menunjukkan bahwa sumbernya shahih. 2) Makna hadits tersebut sesuai dengan perkataan sahabat Nabi. 3) Makna hadits tersebut sesuai dengan fatwa kebanyakan ulama. 4) Ada sanad lain yang meriwayatkan hadits yang sama dengan cara mursal. 5) Kebiasaan perawi tidak meriwayatkan hadits dari sumber yang majhul.[67] 6) Diirsalkan oleh tabi’in senior seperti Sa’id Bin Musayyab.[68] Imam Syafi’i tidak menerima hadits mursal yang diirsalkan oleh tabi’in kecil, karena banyak terdapat pada hadits-hadits mereka perubahan makna dari maksud aslinya.[69] Dengan demikian Imam Syafi’i dalam menerima sunnah sebagai sumber hukum membuat klasifikasi. Menurutnya sunnah yang tertinggi adalah sunnah mutawatir, kemudian sunnah ahad, dan yang terendah adalah hadits mursal tabi’in senior. Pemilihan seperti demikian bukanlah berarti memandang hadits Rasulullah ada yang rendah dan ada yang tinggi, tetapi penilaian itu hanya semata-mata berdasarkan kepada sanad dan perawinya saja. 4. Fungsi Al-Sunnah. Imam Syafi’i memandang sunnah sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur`an. Sebagai sumber hukum, sunnah berfungsi : a. Memperkuat atau menegaskan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an.[70] Umpamanya mengenai shalat, zakat, halal, dan haram. b. Memperjelas setiap ayat Al-Qur`an yang belum jelas maksud dan tujuannya. Penjelasan ini ditempuh dengan metode bayan, takhsis, taqyid, dan sebagainya. c. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur`an.[71] Umpamanya haram memakai kain sutra dan perhiasan emas bagi laki-laki.[72] Walaupun sunnah sebagai sumber hukum islam kedua, tetapi kenyataannya sunnah menempati kedudukan yang sangat penting, karena sebagian isi Al-Qur`an yang belum jelas harus dijelaskan dan ditafsirkan oleh sunnah. Pada generasi sebelum Imam Syafi’i, kecenderungan mendasarkan setiap keputusan kepada sunnah telah melahirkan banyak hadits, tetapi ketentuan yang terdapat antara satu hadits dengan hadits yang lain sering ditemukan saling bertentangan. Kemudian, Imam Syafi’i tampil dengan merumuskan suatu metode baru untuk menyelesaikan dua hadits yang saling bertentangan. Jalan yang ditempuhnya, pertama diusahakan mengkompromikan keduanya, sebab sangat boleh jadi satu hadit mengandung aturan khusus, dan hadits lain memuat aturan umum. Jika penggabungan tidak mungkin dilakukan, akan dilihat sanad dan perawinya. Sunnah yang dipandang lebih kuat sanad atau perawinya lebih didahulukan dan diutamakan.[73] Akan tetapi jika sunnah tersebut setingkat, dilihat mana yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sunnah yang datang terdahulu dinasakhkan oleh sunnah yang datang kemudian.[74] Jika keduanya tidak ada tanda-tanda mana yang terdahulu dan yang terakhir, maka harus diutamakan sunnah yang lebih cocok dan sesuai dengan Al-Qur`an dan dengan sunnah yang ada pada masalah yang lain.[75] Dengan demikian sunnah merupakan sumber hukum islam yang mempunyai fungsi ganda, yaitu memperkokoh dan memperjelas ketentuan hukum yang ditetapkan Al-Qur`an, dan menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur`an. c. Al-Ijma’. Imam Syafi’i dan hampir semua ahli ushul fiqh yang lain sependapat bahwa ijma’ adalah dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur`an dan hadits. Uraian berikut ini akan mengetengahkan definisi ijma’, pembagian ijma’ dan dilalah ijma’. 1. Definisi Ijma’ Dalam ilmu ushul fiqh banyak definisi ijma’ yang dirumuskan oleh para ahli, tetapi yang masyhur dikalangan ulama Syafi’iyah adalah : الإجماع هو إتفاق المجتهدين من أمة محمد صلى الله عليه وسلم فى عصر من العصور بعد وفاته على حكم شرعي[76] Artinya : “Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid dari ummat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat terhadap hukum Syar’i”. Realisasi definisi diatas ialah apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketentuan hukum, maka para mujtahid melakukan ijtihad dengan metode dan kemampuan masing-masing. Kesepakatan hasil ijtihad itulah yang dinamakan ijma’. Imam Syafi’i memandang ijma’ sebagai hujjah, dan menempatkannya sebagai dalil ketiga dalam menetapkan hukum. Dalam hal ini beliau menjelaskan : والاجماع حجة على كل شئ لانه لا يمكن فيه الخطأ[77] Artinya : “Ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatu, karena ijma’ itu tidak mungkin terjadi kesalahan padanya”. Menurutnya, bila ijma’ bersandarkan kepada hadits, maka sama seperti periwayatan hadits. Adapun ijma’ yang tidak didukung oleh hadits secara formal, maka tidak boleh dianggap sebagai periwayatan suatu hadits. Jadi dalam hal ini, kesepakatan mereka itulah yang diikuti, karena kalau saja tentang masalah itu terdapat hadits, tentu kebanyakan mereka telah mengetahui, meskipun ada diantara mereka yang tidak mengetahui, dan tidak mungkin mereka semua sepakat atas sesuatu yang menyalahi sunnah atau sepakat atas sesuatu yang salah.[78] Ijma’ yang pertama kali diakui keberadaannya dan diakui sebagai sumber hukum oleh imam Syafi’i adalah ijma’ sahabat nabi. Beliau menganggap ijma’ sahabat merupakan hasil ijtihad mereka tentang perkara-perkara yang tidak ada ketetapan hukumnya dari nash, kemudian hasil ijtihad ini menjadi suatu kesepakatan. Para sahabat nabi tidak mungkin melakukan ijtihad yang hasilnya bertentangan dengan al-qur’an dan sunnah, sebab mereka lebih mengerti tentang isi keduanya.[79] Menurut Imam Syafi’i ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang sesuatu hukum dalam suatu kurun waktu tertentu. Kesepakatan disini haruslah merupakan kesatuan pendapat dari seluruh fuqaha’ yang hidup pada suatu masa, tanpa membedakan lingkungan, kelompok, dan generasi. Sejalan dengan sikapnya ini, Al-Syafi’i menolak ijma’ penduduk madinah sebagai hujjah, karena kesepakatan yang terjadi di madinah belum tentu di setujui oleh penduduk daerah lain. Penolakan ini dijelaskannya dalam Al-Umm sebagai berikut : فقد أوضحنا لكم ما يدلكم على أن ادعاء الاجماع بالمدينة وفي غيرها لا يجوز أن يكون وفي القول الذي ادعيتم فيه الاجماع اختلاف وأكثر ما قلتم الامر المجتمع عليه مختلف فيه[80] Artinya : “Telah kami jelaskan kepada kalian tentang bukti-bukti bahwasanya mengklaim ijma’ yang terjadi di madinah dan tempat lainnya sebagai hujjah tidak dibenarkan apabila pada permasalahan tersebut masih terdapat perbedaan pendapat, dan kebanyakan permasalahan yang kalian klaim telah terjadi ijma’ penduduk madinah, ternyata masih terdapat perbedaan pendapat padanya”. Dengan pernyataan tersebut jelaslah sikap Imam Syafi’i tentang penolakannya terhadap ijma’ penduduk Madinah. Penolakan ini didasari oleh penemuan fakta bahwa sebagian besar permasalahan yang disepakati oleh penduduk Madinah, ternyata masih diperselisihkan dikalangan ulama daerah yang lain. 2. Pembagian Ijma’. Ulama Syafi’iyah membagi ijma’ kepada dua macam, yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti.[81] Ijma’ sharih adalah “Semua mujtahid menyatakan kesepakatan mereka terhadap suatu masalah yang telah diambil keputusannya”. Umpamanya, tidak wajib bagi wanita melakukan shalat jum’at. Sedangkan ijma’ sukuti ialah “Sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas terhadap suatu masalah hukum, sedangkan sebagian mujtahid lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum yang telah ditetapkan, tetapi juga tidak membantahnya”.[82] Ijma’ sharih dinukilkan secara mutawatir dan sudah dipastikan tidak ada yang menyalahinya. Karena kebenarannya disandarkan kepada nash Al-Qur`an dan hadits. Ijma’ dalam bentuk ini dinamakan ijma’ hakiki. Ijma’ sukuti dinukilkan secara mutawatir juga, tapi terdapat sebagian mujtahid tidak menyetakan persetujuan dan penolakannya. Ijma’ dalam bentuk ini dinamakan ijma’ i’tibari.[83] Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum, dan menolak ijma’ sukuti.[84] Alasannya menerima ijma’ sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas, sehingga tidak terdapat keraguan padanya. Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti sebagai hujjah, karena ijma’ sukuti itu bukan merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid, menurutnya belum tentu menunjukkan sikap persetujuan.[85] Menurut Imam Syafi’i, untuk sampai ijma’ kepada tingkat dalil hukum yang mempunyai kekuatan, tidak cukup kesepakatan itu hanya ditetapkan oleh kalangan mujtahid pada suatu tempat tertentu. Oleh sebab itu ia menolak ijma’ ahli madinah yang tidak dilegalisasi oleh mayoritas mujtahid lain. Baginya ijma’ yang tak diragukan lagi adalah kesepakatan pendapat seluruh mujtahid pada masa sahabat.[86] 3. Dilalah Ijma’. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Imam Syafi’i memandang ijma’ sebagai hujjah dan membaginya kepada ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Menurutnya ijma’ sharih dilalahnya adalah qath’i, sedangkan ijma’ sukuti dilalahnya adalah zanni.[87] Menurut Al-Syafi’i wajib mengamalkan hukum yang ditetapkan dengan cara ijma’ sharih. Sehubungan dengan ini Imam Syafi’i mempergunakan ijma’ sebagai dalil hukum, yaitu setelah sunnah ahad dan sebelum qiyas.[88] Dari uraian diatas dapat difahami bahwa Imam Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai hujjah. Tetapi pembahasannya mengenai ijma’ dalam kitab Al-Risalah masih bersifat umum, kelihatannya yang dimaksudkan dengan ijma’ oleh Al-Syafi’i adalah praktek-praktek dari hasil ijtihad para sahabat yang diamalkan kemudian menjadi kesepakatan ummat. ia tampak sangat berhati-hati dan hanya menggunakan kata ijma’ untuk masalah yang benar-benar diketahui secara luas sebagai hal yang disepakati. Hanya dengan begitulah keberadaan ijma’ dapat dibenarkan.[89] Dengan demikian jelaslah pendirian dan sikap Al-Syafi’i dalam menjadikan ijma’ sebagai dalil hukum. d. Al-Qiyas. Sebagaimana ahli ushul yang lain, Imam Syafi’i juga menggunakan qiyas sebagai dalil hukum. Uraian berikut akan mengetengahkan definisi qiyas, pembagian qiyas serta tingkatannya, dan ruang lingkup berlaku qiyas. 1. Definisi qiyas. Para ahli ushul fiqh telah membuat berbagai rumusan untuk mendefinisikan qiyas. Definisi yang mereka rumuskan itu hampir mempunyai tujuan yang sama, hanya saja redaksinya yang berbeda. Salah satu definisi qiyas yang masyhur dikalangan ulama ushul adalah : إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم[90] Artinya : “Qiyas adalah mempersamakan suatu kejadian yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kejadian yang sudah ada ketentuan nash hukumnya, karena antara kedua kejadian itu terdapat persamaan pada ‘‘illah hukumnya”. Realisasi definisi diatas, suatu peristiwa yang telah duitetapkan hukumnya oleh nash dinamakan ashl atau maqis ‘alaih dan ‘‘illah hukumnya telah diketahui dengan jelas. Kemudian ditemukan suatu peristiwa lain yang ketentuan hukumnya tidak disebutkan oleh nash yang dinamakan far’u atau maqis. Tetapi ‘‘illahnya sama dengan ‘‘illah hukum yang sudah ada nashnya. Peristiwa yang tidak nash itu disamakan hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada nashnya, karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat persamaan pada ‘illahnya. Dalam menetapkan qiyas sebagai sumber hukum ke empat, Imam Syafi’i mengemukakan beberapa dalil baik naqli maupun ‘aqli, yang intinya qiyas adalah salah satu sumber hukum dan satu-satunya metode penalaran hukum yang dapat diterima terhadap peristiwa yang tidak ada nash hukumnya. Dalam Al-Risalah beliau menjelaskan : كل ما نزل بمسلم ففيه حكم لازم أو على سبيل الحق فيه دلالة موجودة وعليه إذا كان فيه بعينه حكم اتباعه وإذا لم يكن فيه بعينه طلب الدلالة على سبيل الحق فيه بالاجتهاد والاجتهاد القياس[91] Arinya : “Setiap kasus yang terjadi dalam kehidupan ummat islam sudah terdapat ketentuan hukumnya. Kalaupun hukum itu tidak dinyatakan secara tegas, pasti ada petunjuk kearahnya, jika hukum itu telah ditetapkan maka wajiblah di ikuti, namun bila hukumnya tidak didapatkan secara jelas, maka harus dicari petunjuk kepadanya dengan jalan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas”. Bila diperhatikan sekilas, qiyas dan ijtihad menurut Al-Syafi’i adalah dua nama untuk sebuah proses penalaran hukum, tetapi sebenarnya yang dimaksudkan oleh beliau disini adalah masing-masing dari ijtihad dan qiyas merupakan jalan dan metode untuk menetapkan hukum yang tidak ada nashnya dalam al-qur`an, hadits, dan tidak pula disepakati oleh para ulama. Bukan berarti ijtihad hanya terkhusus kepada qiyas.[92] Berbicara tentang qiyas, Imam Syafi’i menegaskan beberapa pokok pikirannya, antara lain : a) Pengetahuan yang diperoleh dengan qiyas itu adalah benar secara zahir dan hanya berlaku bagi orang yang menemukannya, tidak bagi semua ulama, sebab hanya Allah yang mengetahui hal-hal yang ghaib.[93] b) Hukum terhadap masalah yang tidak ada nashnya haruslah dicari dengan qiyas, namun kita hanya dibebani dengan apa yang dianggap benar.[94] c) Jika terjadi perbedaan pendapat, para mujtahid harus mengamalkan hasil ijtihadnya masing-masing, sebab pada zahirnya itulah yang benar baginya, walaupun pada hakikatnya dua pendapat yang berbeda tentang sesuatu tidaklah mungkin sama-sama benar[95]. Akan tetapi, jika seorang ulama telah berijtihad dengan meneliti dalil-dalil seraya memohon pertolongan dan taufiq dari Allah, ia telah melaksanakan kewajibannya.[96] Menurut Imam Syafi’i, qiyas itu harus disandarkan kepada dalil-dalil.[97] Oleh karena itu hukum yang ditetapkan dengan metode qiyas sangat ditentukan oleh nilai dalil dan ‘illahnya. Jika dalil dan ‘illah hukum ashl itu qath’i, ketentuan hukum yang diqiyaskan juga bersifat qath’i. tetapi jika dalil dan ‘illah hukum ashl itu zanni, maka hukum yang dihasilkan qiyas adalah zanni pula.[98] Jadi, sebenarnya qiyas tidak berdiri sendiri, tetapi keberadaannya bersandar kepada dalil-dalil, baik Al-Qur`an maupun hadits. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas pada prinsipnya adalah penetapan hukum dengan nash juga karena status hukum yang ditetapkannya sama dengan hukum yang ditetapkan nash. Dengan demikian, dapat difahami bahwa Imam Syafi’i dalam mengistinbath hukum sangat menitik-beratkan kepada dalil-dalil dari nash Al-Qur`an dan Hadits, sehingga beliau hanya membolehkan qiyas sebagai metode nalar terhadap hukum yang tidak ada nashnya dan tidak membolehkan sembarangan orang melakukan ijtihad tanpa pengetahuan yang memadai untuk kategori ijtihad. 2. Pembagian Qiyas dan Tingkatannya. Menurut Imam Syafi’i, qiyas hanya ada dua macam, pertama qiyas makna, yaitu perkara hukum yang tidak terdapat keterangan dari nash, tetapi hal tersebut tercakup dalam makna nash (hukum ashl). Tentang ini tidak ada perselisihan pendapat ulama. Kedua qiyas syabah, yaitu perkara-perkara yang tidak ada keterangan dari nash, tetapi mempunyai beberapa kesamaan dengan kasus-kasus yang terdapat dalam nash (hukum ashl), lalu dihubungkan dengan salah satu kasus yang terdekat atau lebih banyak mempunyai persamaan. Para pengguna qiyas kadang berselisih paham di sini.[99] Sementara ulama pengikut Al-Syafi’i memandang pembagian qiyas lebih luas lagi. Menurut mereka pembagian qiyas dapat dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda, pertama dari aspek dasar pemberlakuan hukum pokok kepada cabang, dari segi ini qiyas terbagi kepada qiyas ‘illah, dalalah dan syabah.[100] Kedua ditinjau dari segi kejelasan ‘illah pada hukum pokok dan cabang, pada sisi ini qiyas terbagi kepada aulawi, musawi dan adwan.[101] Ketiga ditinjau dari aspek kekuatan qiyas, dari segi ini qiyas terbagi kepada jali dan khafi.[102] Meskipun sekilas terdapat perbedaan tentang cara pembagian qiyas antara Al-Syafi’i dan pengikutnya, tetapi pada hakikatnya tidaklah berbeda, karena apa saja yang dijelaskan oleh pengikutnya merupakan pengembangan terhadap penegasan Al-Syafi’i dalam Kitab Al-Risalah yang teksnya sangatlah singkat dan padat.[103] Menurut Al-Syafi’i, suatu qiyas dianggap berada pada tingkatan paling kuat, apabila keberadaan hukum cabang lebih kuat dari pada hukum pokok, meskipun sebahagian ulama tidak menganggap hal ini sebagai qiyas. Beliau mencontohkan, bila Allah SWT mengharamkan sesuatu yang sedikit, maka dapat diyakini bahwa dalam keadaan banyaknya tentu lebih diharamkan lagi. Demikian juga jika Allah memuji perbuatan ta’at yang sedikit, maka ta’at yang banyak tentu lebih mendapat pujian.[104] Imam Al-Haramaini yang merupakan salah seorang ulama Syafi’iyah membuat tingkatan qiyas dengan klasifikasi yang lebih rinci menjadi lima tingkatan. Kekuatannya adalah menurut urutan berikut ini : a) Qiyas yang ‘illah pada hukum cabangnya lebih jelas dari pada hukum pokok. b) Qiyas yang ‘illah pada hukum pokoknya disebutkan di dalam nash (‘illah manshushah). c) Qiyas yang ‘illahnya saat diterapkan pada hukum cabang tidak berbeda sedikitpun dari pada hukum pokok, meskipun tingkat kejelasannya setara. d) Qiyas yang ‘illahnya merupakan sesuatu yang diistinbatkan dari nash (‘illah mustanbathah). e) Qiyas yang ‘illahnya diterapkan melalui metode qiyas syabah.[105] Dengan pembagian qiyas dan tingkat kekuatanya dapat diketahui metode yang diterapkan oleh Imam Syafi’i dalam menyelesaikan pertentangan antara qiyas dengan qiyas, yaitu mengutamakan dan mendahulukan qiyas yang paling tinggi tingkatannya.[106] 3. Ruang Lingkup Berlaku Qiyas Dalam menetapkan dalil-dalil hukum, Imam Syafi’i menempatkan qiyas pada urutan keempat. Kebutuhan penerapan qiyas menurutnya adalah ketika dharurah, sama seperti bersuci dengan tayammum didalam suatu perantauan yang hanya dilakukan ketika tidak mendapatkan air.[107] Meskipun demikian perkara-perkara tempat diterapkan qiyas menurut mazhab Syafi’i sangatlah luas kendatipun ada batasan tertentu. Hal ini tergambarkan dari pernyataan para pengikutnya. Al-Ghazali umpamanya, menegaskan : كل حكم شرعي أمكن تعليله فالقياس جار فيه[108] Artinya : “Apa Saja Hukum Yang Bisa Ditemukan ‘Illahnya, Maka Qiyas Bisa Berlaku Padanya”. Demikian juga pernyataan Al-Razi bahwa boleh memberlakukan qiyas pada masalah hudud, kafarat, taqdirat (ukuran), dan rukhsah. Hal ini berseberangan dengan mazhab Hanafi yang tidak membolehkan berlaku qiyas pada empat masalah ini.[109] Tampaknya, meskipun menurut ulama Syafi’iyah ruang lingkup qiyas sangat luas, tetapi Al-Syafi’i sendiri memberikan batasan dalam penerapan qiyas, tidak selamanya qiyas berlaku secara mutlak pada semua bidang, umpamanya masalah yang ketentuan hukumnya merupakan suatu rukhsah (keringanan). Dalam hal ini Al-Syafi’i dalam kitab Al-Risalah menjelaskan, kasus yang hukumnya ditetapkan Allah dengan nash tetapi kemudian Rasulullah SAW memberikan rukhsah pada bagian-bagian tertentu darinya, maka rukhsah tersebut hanya berlaku sebatas yang beliau tetapkan itu, dan yang lain tidak dapat diqiyaskan kepadanya. Demikian pula bila Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum secara umum, tetapi kemudian ia menetapkan sunnah yang menyimpang darinya.[110] Bila diperhatikan sekilas, Al-Syafi’i berbeda pendapat dengan para pengikutnya pada penerapan qiyas dalam masalah rukhsah. Namun menurut ulama Syafi’iyah yang lain, perbedaan ini masih bisa dikompromikan, Al-Qalyubi umpamanya, menjelaskan bila pada masalah rukhsah berhasil diistinbathkan satu ‘illah yang dapat membuat nashnya menjadi umum, maka qiyas dalam bentuk ini adalah sah. Jadi masalah rukhsah tak berlaku qiyas jika tidak berhasil diistinbathkan ‘illah yang dapat membuatnya nashnya menjadi umum.[111] Dengan demikian dapatlah diketahui metode penerapan qiyas pada masalah-masalah yang ketentuan hukumnya bersumber kepada nash yang berbentuk rukhsah. e. Istishhab Menurut istilah ushul fiqh, istishhab ialah “memandang tetap berlaku hukum suatu peristiwa sebelum ada dalil lain yang merubah ketentuan hukumnya”.[112] Artinya, hukum yang telah ada tetap berlaku selama tidak ada dalil yang datang merubahnya. Dengan demikian istishhab adalah memandang sesuatu boleh hukumnya sepanjang belum ada dalil yang melarang atau mengaturnya secara khusus. Istishhab terbagi kepada dua macam, yaitu istishhab yang disandarkan kepada hukum akal dan istishhab yang bersandarkan kepada hukum syara’. Istishhab bentuk pertama tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Istishhab dalam bentuk ini juga disebut istishhab hukum asal bagi sesuatu. Hukum asal bagi sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang merubahnya.[113] Umpamanya setiap makanan yang bermanfaat dan tidak mendatangkan mudharat bila memakannya, hukumnya mubah selama belum ada dalil yang melarangnya. Dalam salah satu kaidah fiqhiyah dijelaskan sebagai berikut : الا صل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم[114] Artinya : “Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjuki kepada haramnya”. Istishhab bentuk kedua, sudah ada dalil hukumnya dan hukumnya itu tetap berlaku sampai ada dalil lain yang merubah ketentuan hukumnya.[115] Contohnya ummat islam wajib berpuasa pada bulan Ramadhan. Kewajiban berpuasa terus berlaku sampai ada dalil lain yang melarangnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan kaidah fiqhiyah : الا صل بقاء ما كان على ما كان[116] Artinya : Asal pada sesuatu tetap diatas ketentuan yang telah ada. Maksudnya hukum asal terhadap sesuatu terus berlaku sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya. Berdasarkan contoh di atas dapat ditetapkan bahwa istishhab pada hakikatnya bukan metode untuk menetapkan suatu hukum yang baru, tetapi hanya melanjutkan pemberlakuan hukum yang telah ada karena tidak ada dalil yang merubahnya. Dalam berbagai pembicaraanya mengenai dalil Syar’i, Imam Syafi’i tidak menegaskan secara jelas mengenai istishhab sebagai sumber hukum. Tetapi menurut Al-Muzani yang merupakan murid beliau, istishhab adalah hujjah. Al-Muzani barangkali mendasarkan perkataannya kepada cara-cara yang ditempuh oleh Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan hukum, sehingga memahami bahwa istishhab adalah salah satu sumber hukum.[117] Dengan pernyataan Al-Muzani jelaslah bahwa istishhab adalah salah satu sumber hukum dalam Mazhab Syafi’i, meskipun Imam Syafi’i tidak menegaskannya secara jelas. Karena menurut ulama Syafi’iyah, suatu pendapat yang dikemukakan oleh Ashhab Al-Wujuh seperti Al-Muzani, digolongkan sebagai pendapat yang ada dalam Mazhab Syafi’i, meskipun tidak bisa dikatakan sebagai pendapat Imam Syafi’i sendiri.[118] Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa istishhab adalah sebagai hujjah dalam mazhab Imam Syafi’i. Dari berbagai uraian mengenai sumber hukum yang digunakan oleh Iman Syafi’i dapat diketahui bahwa otoritas wahyu sebagai sumber hukum sangat diutamakan, tentang jalan memahami wahyu, Al-Syafi’i menjelaskan klasifikasi kata-kata. Hal ini ditetapkannya untuk menjaga kemurnian syari’ah dan bahasa Al-Quran. Menurutnya Al-Quran harus dibiarkan berbicara dengan bahasanya sendiri, dengan tujuan meminimalkan segala bentuk distorsi dalam proses interpretasi. Orang yang memiliki penguasaan bahasa Arab yang memadai saja yang berwenang melakukan interpretasi terhadap teks.[119] Dalam menggunakan qiyas, Imam Syafi’i menempuh jalan tengah antara mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Beliau tidak melonggarkan penggunaannya seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah, dan tidak pula mempersempitnya sebagaimana metode Imam Malik, tetapi beliau menggunakannya dengan membuat batasan-batasan tertentu.[120] Qiyas merupakan metode yang ia gunakan untuk mengembangkan ketetapan nash, artinya tidak ada metode penalaran lain yang dibolehkan.[121] Sejalan dengan penegasan yang demikian, ia menolak konsep istihsan yang digunakan oleh Mazhab Hanafi sebagai sumber hukum. Secara lebih tajam ia menegaskan penggunaan istihsan adalah suatu kecendrungan mengikuti hawa nafsu.[122] Bahkan beliau menyusun satu kitab khusus untuk menolak istihsan, yang dinamakannya dengan Kitab Ibthalu Al-Istihsan. Adapun praktek istihsan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menyelesaikan beberapa kasus seperti hak pesangon yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikan sebanyak tiga puluh dirham, pengambilan sumpah dengan mushaf, pembatasan berlakunya hak syuf’ah (hak pembeli pertama) selama tiga hari, dan lain-lain, maka istihsan ini bersandar kepada dalil yang jelas, bukan seperti istihsan yang dipraktekkan oleh ulama Mazhab Hanafi.[123] Keharusan adanya kaitan tekstual hukum di atas, mengisyaratkan pula penolakan Imam Syafi’i terhadap mashlahah mursalah, karena landasan filosofi mashlahah mursalah bahwa ada sebahagian kemaslahatan yang tidak termuat dalam nash adalah sesuatu yang keliru. Menurutnya semua permaslahan yang terjadi terhadap ummat islam sudah ada ketentuan hukumnya dalam nash, atau setidaknya ada petunjuk dari nash, bila ada ketentuannya dalam nash maka wajib diikuti, dan jika tidak ada maka jalan mencarinya adalah dengan ijtihad, ijtihad tak lain adalah qiyas.[124] Adapun mengenai penalaran Imam Syafi’i terhadap beberapa perkara yang mirip dengan penalaran mashlahah mursalah, maka menurutnya hal tersebut masih bisa digabungkan dalam metode qiyas. Artinya penalaran hukum semacam ini termasuk salah satu penalaran dengan qiyas.[125] Mengenai menjadikan pendapat sahabat Nabi sebagai sumber hukum, dalam beberapa literatur karya ulama Syafi’iyah ditemukan, bahwa Imam Syafi’i menjadikan pendapat sahabat sebagai hujjah dalam membentuk qawl qadim. Ketika membentuk qawl jadid beliau tidak menjadikannya sebagai hujjah kecuali hanya dalam perkara-perkara tauqif (perkara yang bukan bersumber dari ijtihad shahabi).[126] Tetapi dalam pernyataan Al-Syafi’i sendiri dalam Al-Risalah dan Al-Umm yang keduanya memuat qawl jadid, terdapat penjelasan Al-Syafi’i bahwa pendapat sahabat Nabi termasuk dalam hujjah. Berikut pernyataan beliau saat ditanyakan tentang pendapat sahabat Nabi yang bukan ijma’, beliau menjawab, “kami mengambil pendapat mereka yang sesuai dengan Al-Qur`an atau Sunnah atau ijma’ atau yang lebih dekat kepada qiyas”.[127] Al-Syafi’i juga mengatakan, “Selama permasalahan hukum bisa ditemukan di dalam Al-Quran dan Hadits maka tidak ada jalan lain kecuali mengikutinya. Bila tidak diperdapatkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits, maka kami berpijak kepada pendapat para shahabat Nabi atau kepada pendapat salah seorang dari mereka”.[128] Pada bagian lain ia menjelaskan, “Bila para sahabat Nabi berbeda pendapat, kami mengambil di antaranya yang lebih sesuai dengan makna zahir dari Al-Quran dan Hadits”.[129] Dari beberapa ungkapan beliau dapat difahami sikap beliau dalam pengambilan pendapat shahabi sebagai hujjah. Sekaligus hal ini berseberangan dengan pernyataan para pengikutnya. Tetapi para Ulama Syafi’iyah menguraikan secara detail, jika sesuai pendapat Al-Syafi’i dengan qawl shahabi, itu hanya karena ada dalil, seperti pendapat Al-Syafi’i dalam masalah faraidh yang sesuai dengan pendapat Zaid bin Tsabit. Menurut mereka hal ini berdasarkan pernyataan dari Rasulullah, “bahwa sahabatnya yang paling menguasai permasalahan faraidh adalah Zaid bin Tsabit”. Jadi kesesuaian ijtihad keduanya di sini, karena Al-Syafi’i berpegang kepada Hadits. Bahkan Ulama Syafi’iyah secara jelas menegaskan, kasus seperti ini cuma kebetulan saja.[130] Dengan demikian telah ditemukan jalan tengah di antara pernyataan Al-Syafi’i dan pengikutnya dalam menjadikan qawl shahabi sebagai hujjah. Dari uraian di atas dapat diketahui dalil-dalil hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan dalil-dalil hukum yang ditolak olehnya. 2. Langkah-Langkah Ijtihad Untuk melengkapi pembahasan tentang metode ijtihad Al-Syafi’i, berikut ini penulis akan mengemukakan proses atau langkah-langkah yang ditempuh beliau dalam merumuskan hukum-hukum fiqh. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beliau sendiri, di antaranya dalam Al-Risalah ia mengatakan : يحكم بالكتاب والسنة المجتمع عليها الذي لا اختلاف فيها فنقول لهذا حكمنا بالحق في الظاهر والباطن ويحكم بالسنة قد رويت من طريق الانفراد لا يجتمع الناس عليها فنقول حكمنا بالحق في الظاهر لانه قد يمكن الغلط فيمن روى الحديث ونحكم بالاجماع ثم القياس وهو أضعف من هذاولكنها منزلة ضرورة لانه لا يحل القياس والخبر موجود كمايكون التيمم طهارة في السفر عند الاعواز من الماء ولا يكون طهارة إذا وجد الماء إنما يكون طهارة في الاعواز وكذلك يكون ما بعد السنة حجة إذا أعوز من السنة[131] Artinya : “Hukum ditetapkan dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah yang telah disepakati tanpa khilaf. Dalam hal ini kita mengatakan kami menetapkan hukum dengan benar pada zahir dan batin. Hukum juga bisa ditetapkan berdasarkan Sunnah yang diriwayatkan melalui perorangan yang tidak ada kesepakatan atasnya. Untuk hal ini kami mengatakan, kami menetapkan hukum dengan sebenarnya pada zahir saja, karena mungkin saja terjadi kesalahan pada orang yang meriwayatkan Hadits. Selanjutnya kami menetapkan hukum dengan ijma’ kemudian dengan qiyas, tetapi keberadaan hukum di sini lebih lemah dari hukum di atas disebabkan penerapan qiyas hanya boleh dilakukan dalam keadaan dharurah, karena qiyas tidak dibolehkan selama masih memperdapatkan khabar (Al-Quran dan Hadits). Sebagaimana halnya bersuci dengan tayammum dalam suatu perantauan, hanya dilakukan bila tidak mendapatkan air. Demikian juga dalil sesudah Sunnah, bisa menjadi landasan hukum bila tidak memperdapatkan Sunnah”. Dalam Al-Umm ia mengatakan : والعلم طبقات شتى الاولى الكتاب والسنة إذا ثبتت السنة ثم الثانية الاجماع فيما ليس فيه كتاب ولا سنة والثالثة أن يقول بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ولا نعلم له مخالفا منهم والرابعة اختلاف أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك، الخامسة القياس على بعض الطبقات ولا يصار إلى شئ غير الكتاب والسنة وهما موجودان وإنما يؤخذ العلم من أعلى[132] Artinya : “Ilmu itu ada beberapa tingkatan, Pertama Al-Quran dan Al-Sunnah apabila Sunnah itu sahih, kedua Ijma’ pada masalah yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Ketiga perkataan sebahagian sahabat Nabi yang tidak dibantah oleh sahabat lainnya. Keempat pendapat sahabat yang diperselisihkan. Kelima qiyas kepada salah satu tingkatan di atas. Akan tetapi selama ada Kitab dan Sunnah, dalil lainnya tidak digunakan, sebab ilmu harus diambil dari sumber yang paling tinggi”. Dalam kaitan ini, Al-Syawkani mengemukakan langkah-langkah ijtihad yang menurut Imam Al-Syafi’i harus ditempuh oleh mujtahid setiap kali berhadapan dengan masalah hukum. Al-Syawkani menyatakan : Apabila suatu kasus ditanyakan kepada seorang mujtahid, hendaklah ia mengkaji hukumnya pada nash-nash Al-Kitab, jika tidak menemukannya di sana, hendaklah mencarinya pada nash hadits mutawatir, jika tidak ditemukan juga, ia harus mencarinya dalam nash Hadits Ahad, jika disitu juga tidak ada, ia belum boleh melakukan qiyas, tetapi mesti mencarinya pada petunjuk zahir Al-Quran, jika menemukan petunjuk zahir, ia harus pula meneliti terlebih dahulu apakah ada qiyas atau Hadits yang mentakhsiskannya, apabila tidak dalil yang mentakhsis barulah ia menetapkan hukum berdasarkan petunjuk zahir tersebut. Jika sama sekali tidak menemukan hukum dari dua sumber itu, ia mesti meneliti fatwa-fatwa dari berbagai mazhab. Jika ternyata masalahnya telah mendapatkan ijma’, maka harus mengikuti ijma’ tersebut. Jika tidak ada ijma’ ia harus melakukan qiyas. Dalam menerapkan qiyas mesti memperhatikan kaedah-kaedah umum (kulliyah) yang harus didahulukan atas kaedah khusus (juz’iyah) seperti pembunuhan dengan benda berat, maka diutamakan prinsip pencegahan terjadinya pembunuhan. Kemudian jika tidak menemukan kaedah umum maka ia perlu meneliti nash-nash dan ijma’ yang ada. Jika kasus yang dihadapinya itu termasuk dalam cakupan nash atau ijma’, ia harus memberlakukan hukum tersebut dan jika hal ini tidak ditemukan, barulah ia beralih kepada qiyas mukhil (yang ‘illahnya sesuai dengan hukum). Jika hal ini tidak dapat dilakukan karena tidak ditemukan ‘illah yang sesuai, ia harus beralih kepada qiyas Al-Syabah dan jangan berpijak kepada metode thardi (yang ‘illahnya tak diketahui segi kesesuaiannya dengan hukum). Jika tidak ditemukan juga dari semua sumber di atas, ia harus berpijak pada istishhab ashl. Ketika terjadi pertentangan di antara dalil-dalil, jalan pertama yang harus ditempuh adalah mengkompromikannya dengan metode yang dapat diterima dikalangan ulama. Jika gagal mengkompromikannya, maka satu-satunya jalan penyelesaian adalah mengikuti metode tarjih yang sahih.[133] Berdasarkan kutipan dari perkataan Al-Syafi’i sendiri, dan Al-Syawkani, dapatlah dilihat bahwa langkah-langkah operasional ijtihad Al-Syafi’i adalah mencari hukum secara berturut-turut dari : a) Nash-nash Al-Kitab[134] b) Nash-nash Hadits Mutawatir c) Ijma’ ulama terdahulu d) Nash-nash Hadits Ahad e) Petunjuk zahir Al-Quran dan Hadits f) Qiyas, dengan memperhatikan urutan : 1) Kaedah-kaedah kulliyah 2) Cakupan nash atau ijma’ 3) Qiyas mukhil 4) Qiyas al-syabah Dengan memeperhatikan uraian diatas, maka jelaslah langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Syafi’i dalam merumuskan hukum-hukum fiqh. B. Perubahan Fatwa Dari Qawl Qadim ke Qawl Jadid Telah disinggung pada bab dua, di antara pendapat-pendapat Imam Syafi’i adalah qawl qadim dan qawl jadid. Qawl qadim adalah pendapat atau fatwa yang dikemukakan Al-Syafi’i ketika di Irak atau sebelum berpindah ke Mesir. Perawinya yang masyhur adalah Ahmad Bin Hanbal, Al-Za’farani, Al-Karabisi, dan Abu Tsur. Fatwa-fatwa pada periode ini tertuang dalam kitab Al-Hujjah dan Al-Risalah Al-Qadimah.[135] Sedangkan qawl jadid ialah pendapat dan fatwa Al-Syafi’i saat menetap di Mesir. Perawinya yang masyhur adalah Al-Buwaithi, Al-Muzani, Al-Rabi’ Al-Muradi, Al-Rabi’ Al-Jaizi, Harmalah, Yunus Bin Abdul A’la, Abdullah Bin Zubir, dan Muhammad Bin Abdullah Al-Hakam.[136] Fatwa-fatwa pada fase ini terhimpun dalam kitab Al-Umm, Al-Risalah Al-Jadidah, dan lain-lain. Bila pada suatu masalah terjadi perbedaan pendapat antara qawl qadim dan qawl jadid, maka qawl jadidlah yang diamalkan.[137] Ruang lingkup perubahan fatwa Dalam beberapa literatur fiqh Syafi’iyah, jumlah kasus perubahan fatwa dari qawl qadim ke qawl jadid sangat bervariasi. Bentuk perbedaan pendapat yang ditandai dengan qawl qadim dan qawl jadid di dalam suatu kitab, terkadang ditandai dengan istilah yang berbeda dalam kitab yang lain, hal ini dapat mempengaruhi kepada kesulitan dalam menentukan jumlahnya secara pasti. Melalui penelusuran sepintas terhadap kitab Minhaj Al-Thalibin saja, ditemukan tidak kurang dari 93 kasus yang ruang lingkupnya terklasifikasikan dalam empat bagian tinjauan fiqh, pertama, bidang fiqh ibadah sebanyak 41 kasus, kedua, bidang fiqh mu’amalah sebanyak 18 kasus, ketiga, bidang fiqh munakahat sebanyak 24 kasus, keempat, bidang fiqh jinayah sebanyak 10 kasus. Berikut ini penulis akan mengemukakan rincian kasus yang terjadi perbedaan pendapat antara qawl qadim dan qawl jadid menurut bidangnya masing-masing.[138] a. Bidang fiqh ibadah : 1) Air musta’mal pada thaharah fardhu 2) Kesucian air mengalir yang terkena najis 3) Batal wudhu' dengan sebab menyentuh halqah dubur 4) Batal wudhu' dengan sebab menyentuh kemaluan binatang 5) Muwalat dalam wudhu' 6) Muwalat pada tayammum 7) Kewajiban mengqadha' shalat yang dilakukan untuk menghormati waktu. 8) Azan bagi orang yang shalat bukan secara berjamaah 9) Azan untuk melakukan shalat qadha' 10) Memulai kembali shalat yang batal karena berhadats tanpa sengaja 11) Kewajiban mengqadha' shalat yang dilakukan dalam kondisi bernajis dan diketahui setelah shalat selesai. 12) Batas berakhirnya waktu shalat magrib 13) Letak sujud sahwi dalam shalat 14) Melakukan sujud sahwi setelah salam jika melakukan salam sebelum sujud sahwi karena lupa dan telah lama berselang. 15) Jumlah tempat sujud tilawah dalam shalat 16) Status shalat fardhu yang diulangi secara berjamaah 17) Permasalahan sah shalat orang qari yang mengikuti orang ummi 18) Yang diutamakan menjadi imam shalat antara orang yang telah lama memeluk islam dengan orang yang mulia silsilah keturunannya. 19) Mendahului imam pada tempat berdiri dalam shalat 20) Permasalahan Jama’ ta'khir shalat karena hujan 21) Hukum bepergian pada hari jum’at sebelum zawal matahari 22) Hukum berbicara saat khatib sedang membaca khutbah jum’at 23) Yang lebih afdhal di antara mandi-mandi sunnat 24) Kebolehan membaca kembali takbir dalam shalat hari raya sebelum ruku’ jika ditinggalkan secara lupa. 25) Batas berakhirnya waktu shalat gerhana bulan 26) Permasalahan memutar rida' bagi khatib dalam khutbah shalat istisqa' 27) Hukum mengambil bulu dan kuku mayat yang meninggal diluar ihram 28) Yang paling berhak mengimami shalat jenazah diantara wali ‘am dan wali khas bagi mayat. 29) Ukuran hewan yang dikeluarkan sebagai zakat dari hewan-hewan kecil yang wajib dizakati. 30) Jenis buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan yang wajib dizakati 31) Menggabungkan sebahagian zakat benda hasil tambang kepada sebahagian yang lain. 32) Kewajiban di antara zakat ‘ain (benda) dan tijarah (perniagaan) pada hewan yang menjadi barang dagangan. 33) Kewajiban mengeluarkan zakat benda dan naqd (emas dan perak) yang dipiutangkan kepada orang lain. 34) Penyerahan zakat secara langsung oleh pemilik kepada yang berhak menerimanya pada harta zahir (hewan, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, dan hasil tambang). 35) Kewajiban mengqadha' puasa Ramadhan yang dilakukan diluar bulan Ramadhan dan diketahui setelah bulan Ramadhan berakhir. 36) Hukum berpuasa pada hari tasyriq 37) Menggantikan puasa atas nama orang meninggal yang tiada halangan untuk mengqadha'kannya. 38) Hukum i’tikaf bagi perempuan di mesjid dalam rumahnya 39) Hukum membaca talbiyah pada thawaf qudum dan pada sa’i sesudahnya. 40) Hukum berihram untuk haji dalam bulan haji, kemudian berihram untuk umrah sebelum thawaf qudum. 41) Kewajiban membayar binatang buruan, pepohonan, dan rerumputan di tanah haram Madinah. b. Bidang fiqh mu’amalah : 1) Hukum penjualan benda tanpa izin pemilik 2) Meminta ganti harga yang ada dalam zimmah (tanggungan) pembeli 3) Menjual biji-bijian yang tidak nampak dalam tangkainya 4) Membayar ganti rugi buah-buahan yang membusuk dalam kekuasaan pembeli setelah diserahkan oleh penjual. 5) Menambah hutang tanpa menambah benda jaminan hutang (marhun) 6) Mengambil kembali budak yang masih hidup dari tangan pembeli yang disita hartanya oleh hakim, sedangkan sebahagian harganya telah duluan diambil dan budak yang satu lagi telah meninggal. 7) Hukum meletakkan kayu di atas dinding bangunan yang tidak ada perkongsian. 8) Hukum meletakkan kayu di atas dinding yang terjadi perkongsian 9) Kebolehan memaksa mitra perkongsian untuk membangun dinding 10) Dhaman (menanggung pembayaran) sesuatu yang belum wajib dibayar. 11) Mensyaratkan mengetahui bagi barang yang akan ditanggung 12) Membebaskan hutang yang tidak diketahui bentuk dan jumlahnya 13) Ketentuan pembayaran pada budak yang dianiaya setelah dirampas dari pemiliknya. 14) Pepohonan yang dibolehkan untuk aqad musaqah 15) Hukum hibah dengan lafadh “ saya berikan ini kepadamu selama hidup kamu”. 16) Hukum hibah dengan lafadh “ jika saya lebih dulu meninggal, maka benda ini menjadi milikmu, dan jika kamu meninggal duluan, maka benda ini kembali kepada saya”. 17) Harta warisan dari hamba yang merdeka setengah jiwanya (al-mub’adh). 18) Persyaratan orang fakir yang berhak menerima zakat c. Bidang fiqh munakahat 1) Menerima pengakuan gadis yang ‘akil baligh tentang pernikahannya 2) Nafkah isteri yang menyusul suami kedalam agama islam pada masa ‘iddah. 3) Khiyar fasakh bagi suami yang mendapatkan aib isterinya kemudian dari nikah. 4) Meminta ganti rugi mahar bila calon isteri ketika aqad nikah ternyata murtad dan baru diketahui sesudah hubungan intim dan sesudah terfasakh nikahnya. 5) Yang menanggung mahar dan nafkah pada pernikahan budak yang direstui oleh tuannya. 6) Penetapan mahar karena terjadi khalwat antara suami dan isteri 7) Wali isteri membebaskan mahar yang wajib atas suami 8) Menggantikan giliran bermalam untuk isteri yang bepergian karena keperluannya sendiri. 9) Status thalaq yang diserahkan wewenangnya kepada isteri (tafwidh thalaq). 10) Mempersaksikan ruju’ 11) Lafadh sumpah pada masalah ila' (suami bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya). 12) Bentuk lafadh sharih dan kinayah pada ila' 13) Ketentuan kafarah pada zihar terhadap empat isteri secara bersamaan 14) Terputus tatabu’ (kesinambungan) puasa untuk kafarah zihar disebabkan sakit. 15) Kewajiban menyegerakan nafi anak pada li’an 16) Kewajiban ‘iddah karena khalwat antara suami isteri 17) Lama masa ‘iddah bagi wanita yang tidak haid karena suatu penyakit 18) Ketentuan ‘iddah bagi wanita yang mengalami haid setelah monophose. 19) Ketentuan ‘iddah bagi wanita yang diruju’ dalam keadaan tidak hamil, kemudian diceraikan lagi 20) Ketentuan untuk sah nikah bagi isteri orang yang mafqud (hilang dan tidak ada berita). 21) Pengertian quru’ pada masalah istibra' (menahan diri semacam ‘iddah) pada budak perempuan. 22) Penyebab wajib nafkah atas suami 23) Kewajiban nafkah untuk isteri yang tidak melayani suami, sedangkan suami tidak meminta untuk dilayani. 24) Orang yang diutamakan untuk mengasuh anak setelah ibu d. Bidang fiqh jinayah : 1) Pengganti unta untuk diyat jika tidak ada unta 2) Kewajiban membayar terhadap kecelakaan yang disebabkan pancuran yang dikeluarkan kepada lorong. 3) Keluarga pembunuh yang dibebankan membayar diyat 4) Ketentuan menebus budak yang melakukan jinayah 5) Ketentuan menebus budak yang melakukan jinayah sebelum penebusan terhadap jinayah pada kali pertama. 6) Sanksi terhadap pembunuh secara sengaja pada masalah qasamah (bukti didapatkan melalui sumpah para wali korban). 7) Status jual beli, pergadaian, dan hibah yang dilakukan orang murtad 8) Bersumpah tidak berbicara dengan seseorang, lantas mengirim surat kepadanya. 9) Aqad kitabah orang murtad terhadap hambanya 10) Hukum menjual hamba mukatab Contoh-Contoh Kasus. Untuk mengetahui faktor dominan yang mendorong Imam Syafi’i merevisi pendapatnya dalam bentuk qawl jadid, perlu diteliti pada kasus-kasus perubahan fatwanya. Dari sejumlah kasus, penulis akan mengemukakan beberapa contoh kasus yang diambil dari beberapa bab yang berbeda, dengan asumsi bahwa seluruh fatwa-fatwa yang ikhtilaf antara qawl qadim dan qawl jadid, terakomodir dalam contoh-contoh tersebut. Dalam hal ini tinjauan dilakukan dari dua aspek, pertama, kaedah-kaedah ijtihad dan dalil-dalil yang digunakan Al-Syafi’i pada proses ijtihad yang melahirkan fatwa itu masing-masing. Kedua, hal-hal lain yang mungkin terkait, seperti kondisi lingkungan, sosial budaya, dan geografis. Adapun contoh-contoh tersebut adalah : a. Air Musta’mal. Air musta’mal adalah air yang telah digunakan pada thaharah fardhu seperti wudhu`. Menurut qawl qadim, air musta’mal hukumnya suci dan menyucikan sedangkan qawl jadid menyatakan air musta’mal hanya bersifat suci tanpa menyucikan. Dalil-dalil yang digunakan oleh qawl qadim adalah sebagai berikut : 1. Al-Qur`an surat Al-Furqan ayat 48 : وأنزلنا من السماء ماء طهورا Artinya : “Dan telah kami turunkan dari langit, air yang suci menyucikan”. (Q. S. Al-Furqan : 48) Menurut qawl qadim, kata thahur dalam ayat diatas mengandung makna perulangan, sehingga sifat tersebut menunjukkan bahwa air dapat digunakan secara berulang-ulang untuk bersuci. 2. Hadits riwayat Rubayya’ Binti Mu’awwaz : إن النبي صلى الله عليه وسلم مسح برأسه من فضل ما كان فى يده[139] Artinya : ”Bahwa Nabi SAW menyapu kepalanya dengan sisa air yang ada ditangannya”. 3. Air yang sudah digunakan satu kali pada thaharah masih bisa digunakan, karena penggunaan yang pertama tidak merubah sifat air, maka tidak ada hambatan untuk bersuci dengannya pada kali kedua, sama halnya dengan air yang pernah digunakan untuk mencuci pakaian yang suci.[140] Adapun dalil yang dikemukakan qawl jadid ialah sebagai berikut : 1) Al-Qur`an surat Al-Maidah ayat 6 : يآيها الذين أمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى الكعبين... Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melakukan shalat, maka basuhlah wajah-wajah kamu dan tangan-tangan kamu hingga kepada siku, dan sapulah kepala kamu dan basuhlah kaki-kaki kamu hingga kepada dua mata kaki”. (Q. S. Al-Maidah : 6) Dalam ayat ini Allah memerintahkan membasuh tangan sama dengan perintah membasuh muka. Karena muka harus dibasuh dengan air yang tidak musta’mal, tentu anggota wudhu` lainnya pun harus demikian. 2) Ijma’ para sahabat bahwa air musta’mal tidak boleh digunakan. Dalam perantauan yang hanya memiliki sedikit air, mereka sepakat untuk tidak menampung air yang telah digunakan, dan mereka beralih kepada tayammum. Kalau saja air musta’mal dapat digunakan, tentu mereka tidak langsung beralih kepada tayammum.[141] 3) Setelah digunakan untuk thaharah fardhu, air itu telah hilang sifat menyucikan yang ada padanya, sehingga tidak bisa dikatakan lagi air itu dengan nama air muthlaq. Sama halnya dengan air yang bercampur dengan benda suci yang jarang terdapat dalam air.[142] Selanjutnya, Al-Mawaridi mengemukakan jawaban atas dalil-dalil yang digunakan qawl qadim, sebagai berikut : a) Sifat thahur itu merupakan sifat yang melekat pada air walaupun belum digunakan untuk bersuci. Jadi, tidak mesti mengandung makna perulangan.[143] Menurut Jalaluddin Al-Mahalli, kalaupun kita masih menganggap kata-kata thahur mengandung makna perulangan, maka perulangan disini dimaksudkan dengan perulangan pada satu anggota wudhu` sebelum terpisah darinya, bukan dengan menggunakan pada kali yang kedua sesudah terpisah.[144] b) Hadits bahwa Nabi menyapu kepala dengan sisa air pada tangannya dijawab dengan menyatakan bahwa air tersebut belum pasti musta’mal, karena air yang tersisa pada tangannya mungkin berasal dari basuhan kedua atau ketiga, sedangkan air musta’mal adalah berasal dari thaharah fardhu, basuhan kedua dan ketiga merupakan thaharah sunat. c) Qiyas kepada penggunaan air untuk mencuci pakaian yang suci tidaklah tepat, sebab dalam tindakan itu air tidak berfungsi menyucikan. Oleh karena itu sifat menyucikan yang ada padanya tidak terganggu, berbeda dengan penggunaan pada bersuci yang fardhu.[145] b. Menyapu Sepatu Yang Robek. Sepatu yang kuat dan baik dengan beberapa persyaratan tertentu boleh disapu sebagai pengganti membasuh kaki dalam berwudhu`. Tetapi bila keadaan sepatu terkoyak pada bagian yang menutup kaki, menurut qawl qadim, jika koyaknya sedikit, sepatu ini masih boleh disapu. Sedangkan qawl jadid menyatakan bila dari bagian yang koyak itu bisa terlihat kaki, sepatu ini tidak boleh disapu lagi, meskipun koyaknya hanya sedikit. Dalil-dalil qawl qadim ialah sebagai berikut : 1) Hadits riwayat Abi Bakrah : إن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا تطهر فلبس خفيه أن يمسح عليهما(رواه دار قطنى) [146] Artinya : “Apabila seseorang bersuci kemudian mengenakan kedua sepatunya, maka ia boleh menyapunya”. (H. R. Daru Quthni). Hadits ini bersifat umum, yang meliputi semua sepatu, termasuk yang koyak. 2) Koyak yang sedikit itu, sama saja dengan lubang-lubang untuk tali pengikat, maka tidak ada halangan untuk menyapunya. 3) Bolehnya menyapu sepatu merupakan suatu kemudahan, meskipun terkoyak sedikit, tetapi selalu diperlukan. Sedangkan menanggalkannya pada setiap kali berwudhu` dapat membawa kesulitan. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai kemudahan.[147] Adapun dalil yang digunakan qawl jadid ialah : 1) Keumuman dilalah ayat wudhu`, mewajibkan membasuh kaki. Dalil yang membolehkan menyapu sepatu bersifat khusus dan hanya berlaku untuk sepatu yang baik. Jadi, hukum ini tidak boleh diberlakukan pada sepatu yang koyak. 2) Terlihatnya kaki karena sepatu yang koyak sama dengan terlihatnya karena sepatu yang ditanggalkan. Jadi, sebagaimana hukum menyapu tidak boleh ketika sepatu ditanggalkan, begitu juga bila sepatu terkoyak. 3) Hukum membasuh lebih kuat dari pada menyapu. Bila sebelah kaki terbuka, kaki yang lain tidak dapat disapu,. Sesuai dengan ini, bila terlihat satu bagian dari kaki itu, maka bagian yang lain juga tidak dapat disapu.[148] Dalil-dalil qawl qadim terdahulu dijawab dengan : a) Keumuman petunjuk hadits riwayat Abi Bakrah telah ditakhsiskan. Sehingga sepatu yang koyak tidak tercakup dalam maknanya.[149] b) Penyamaan koyak dengan lubang tali pengikat tidaklah tepat, disebabkan tali merupakan keharusan pada sepatu, dan kaki pun tidak terlihat dari celah-celah tali. c) Kemudahan yang dikaitkan dengan memakai sepatu tidak berlaku bagi sepatu yang koyak, karena yang umum dipakai adalah sepatu yang baik.[150] c. Batas Waktu Shalat Magrib. Menurut qawl qadim, batas waktu magrib mulai terbenam matahari sampai hilangnya syafaq yang merah diufuk barat. Sedangkan qawl jadid berpendapat, batasnya adalah mulai dari terbenam matahari, dan berakhir seiring berlalunya waktu yang memuat ukuran pelaksanaan wudhu`, menutup aurat, azan, iqamah, dan shalat lima raka’at.[151] Artinya waktunya hanya sedikit saja. Dalil-dalil qawl qadim adalah : 1) Hadits riwayat Abdullah Bin ‘Amr أن النبي صلى الله عليه وسلم قال وقت المغرب مالم يسقط نور الشفق[152] Artinya : “Bahwa Nabi SAW bersabda, waktu magrib adalah selama belum hilang cahaya syafaq”. 2) Hadits riwayat Zaid Bin Tsabit أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ الأعراف فى المغرب[153] Artinya : “Bahwasanya Nabi SAW membaca surat Al-A’raf pada shalat magrib” Membaca surat tersebut jelas membutuhkan waktu yang cukup panjang. Jadi, perbuatan beliau membaca surat itu jelas menunjukkan panjangnya waktu magrib. 3) Anak yang mencapai kedewasaan, perempuan yang suci dari haid, dan orang kafir yang masuk islam sebelum hilang syafaq, dikenakan kewajiban shalat magrib. ini berarti bahwa saat menjelang hilang syafaq itu masih termasuk waktu magrib. 4) Qiyas kepada shalat fardhu yang lain, sebagaimana shalat lain mempunyai dua waktu, maka magrib pun mempunyai dua waktu. [154] Adapun dalil-dalil yang mendasari qawl jadid adalah sebagai berikut : 1) Hadits Ibnu ‘Abbas أن النبي صلى الله عليه وسلم قال أمّني جبريل فصلى بى المغرب فى اليوم الأول حين أفطر الصائم ثم صلى بى المغرب فى اليوم الثانى للقدر الأول لم يؤخرها[155] Artinya : “Bahwa Nabi SAW bersabda, Jibril bertindak sebagai imam bagi saya dan melakukan shalat magrib pada hari pertama disaat orang berbuka puasa dan pada hari kedua juga demikian, ia tidak mengundurkannya” (H. R. Al-Syafi’i). 2) Hadits riwayat Rafi’ Bin Khudaij yang mengatakan : كنا نصلى المغرب مع النبي صلى الله عليه وسلم فينصرف أحدنا وإنه ليبصر مواقع نبله[156] Artinya : ”Kami melakukan shalat magrib bersama Nabi SAW, lantas salah seorang diantara kami beranjak, dan dia masih dapat melihat sasaran memanah”. Kondisi sasaran panah yang masih terlihat menunjukkan waktu magrib itu sangat singkat. 3) Hadits riwayat ‘Abbas Bin Abdul Muthallib : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لاتزال أمتى على الفطرة مالم يؤخروا المغرب حتى تشتبك النجوم [157] Artinya : “Bersabdalah Rasulullah SAW, umat saya senantiasa berada atas kebaikan selama mereka tidak mengundurkan shalat magrib hingga bertaburlah bintang-bintang”. Dalil-dalil qawl qadim dijawab sebagai berikut : a) Hadits riwayat Abdullah Bin ‘Amr diriwayatkan oleh Syu’bah pada akhir hayatnya dari Qatadah secara mauquf kepada Abdullah Bin ‘Amr. Artinya hadits ini tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah bila ditinjau kepada riwayat Syu’bah. b) Mengenai Nabi SAW membaca surat Al-A’raf, perlu diingat bahwa surat itu tidak turun sekaligus. Jadi, mungkin saja yang beliau baca itu hanya sebagiannya, atau hanya bagian surat yang menyebutkan kata-kata Al-A’raf, lalu orang menyebut beliau membaca surat Al-A’raf. c) Wajib shalat atas anak yang baligh, wanita haid yang suci, dan orang kafir yang masuk islam menjelang hilangnya syafaq, tidak menunjukkan batas waktu magrib sampai terbenam syafaq. Sebab shalat fardhu tetap wajib atas mereka jika baligh, masuk islam, dan suci dari haid terjadi sebelum fajar. d) Qiyas kepada shalat fardhu lain tidaklah tepat, karena magrib adalah shalat fardhu yang tak bisa diqashar. Maka mesti berbeda waktunya dengan waktu shalat yang lain, sama halnya dengan shalat subuh. [158] d. Sanksi Terhadap Orang Menolak Menunaikan Zakat. Qawl qadim dan qawl jadid sepakat menyatakan bahwa zakat harus diambil secara paksa dari harta orang yang tidak mau menunaikannya dengan tanpa alasan yang sah. Dan orang tersebut dapat pula dikenakan sanksi ta’zir. Lebih dari itu menurut qawl qadim, separuh hartanya harus pula diambil sebagai sanksi. Sedangkan qawl jadid berpendapat tidak ada sanksi dalam pengambilan harta seperti itu.[159] Dalil yang menjadi pegangan qawl qadim ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bahz Bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya, yaitu : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ومن منعها فأنا آخذها وشطر ماله عزمة من عزمات ربنا ليس لآل محمد فيها شىء (رواه أبو داود والنسائى)[160] Artinya : “Bahwa Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang menahan zakat, maka saya akan mengambilnya bersama sebahagian hartanya yang lain sebagai suatu ketetapan dari tuhan kita. Tiada sedikitpun keluarga Muhammad berhak diatasnya” (H. R. Abu Daud dan Al-Nasa`i). Adapun dalil yang mendukung qawl jadid ialah sebagai berikut : 1) Hadits riwayat Fathimah Binti Qis : ليس فى المال حق سوى الزكاة[161] Artinya : “Tidak ada kewajiban pada harta selain zakat”. 2) Zakat adalah ibadat, jika seseorang meninggalkannya, tidak dikenakan sanksi berupa pengambilan harta, sama seperti ibadat lainnya. Al-Syairazi mengemukakan jawaban atas dalil qawl qadim dengan menjelaskan bahwa hadits Bahz Bin Hakim diatas telah mansukh, karena hadits itu dikemukakan oleh Rasulullah SAW ketika masih adanya sanksi-sanksi berupa pengambilan harta. Ketentuan itu kemudian dinasakhkan sehingga hadits Bahz itu tidak dapat dipedomani lagi.[162] Al-Nawawi sependapat bahwa hadits Bahz tidak dapat dipedomani, tetapi bukan karena dinasakh, melainkan karena riwayatnya lemah.[163] e. Pengaruh Hutang Terhadap Kewajiban Zakat. Satu hal yang sering dipersoalkan dalam bab zakat ialah orang yang memiliki harta, tetapi juga mempunyai hutang yang jumlahnya dapat mengurangi hartanya dari ukuran nisab. Dalam kasus ini, qawl qadim mengatakan orang tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat. Sedangkan menurut qawl jadid wajib atasnya mengeluarkan zakat, hutangnya sama sekali tidak mempengaruhi kewajiban zakat, dan tanpa membedakan jenis harta dan jenis hutangnya.[164] Qawl qadim mengajukan dalil-dalil sebagai berikut : 1) Qiyas kepada kewajiban haji, dengan alasan zakat adalah ibadat yang terkait dengan harta, hutang dapat menjadi penghalang baginya, seperti halnya kewajiban melaksanakan haji.[165] 2) Qiyas kepada harta warisan. Dengan alasan, zakat merupakan pemilikan harta tanpa imbalan. Hutang dapat menghalangi kewajibannya, seperti halnya warisan yang hanya dapat dibagi setelah hutang-hutang pewaris diselesaikan terlebih dahulu. 3) Bila orang ini diwajibkan zakat, maka harta tersebut akan dizakati dua kali, sebab orang yang berpiutang juga wajib mengeluarkan zakatnya. Hal ini tidak dibenarkan.[166] Adapun dalil yang mendukung qawl jadid ialah sebagai berikut : 1) Petunjuk yang bersifat umum dari dalil-dalil tentang kewajiban zakat. Artinya, kandungan makna dalil tersebut tidak membatasi kewajiban zakat hanya kepada orang yang tidak mempunyai hutang.[167] 2) Qiyas kepada barang yang dijadikan pegangan hutang. Dengan alasan bahwa hak pemegang gadai yang terkait atas diri barang gadaian tidak mengahalangi kewajiban zakat. Maka hak hutang yang hanya terkait dengan zimmah (tanggungan), tentu tidak pula menghalanginya 3) Qiyas kepada kewajiban yang terkait atas diri seorang budak yang melakukan tindak pidana. Dengan alasan, kewajiban hutang hanya terkait dengan zimmah, sedangkan zakat ada yang terkait dengan harta benda. Kewajiban yang terkait dengan harta benda tertentu tidak dapat menghalangi kewajiban atas zimmah, seperti halnya kewajiban yang terkait atas diri seorang budak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini tidak dapat dihalangi oleh kenyataan bahwa tuannya mempunyai hutang sebesar harga budak tersebut atau lebih. Bila zakat itu tidak terkait langsung dengan diri harta, tentu kedudukannya akan sama dengan hutang yang juga terkait dengan zimmah, sehingga keduanya tidak saling mempengaruhi. Hal ini sama dengan adanya dua hutang kepada dua orang yang berlainan, artinya tidak saling mempengaruhi.[168] Dalil-dalil qawl qadim dijawab sebagai berikut : a) Qiyas kepada haji tidaklah tepat, sebab antara haji dan zakat terdapat perbedaan. Zakat dikenakan terhadap anak-anak dan orang gila yang memiliki harta, sedangkan haji tidaklah demikian. Sebaliknya orang fakir yang ada di Mekah wajib melakukan haji, walaupun ia tidak memiliki harta yang dibebankan kewajiban zakat. b) Qiyas kepada harta warisan juga tidak tepat, sebab hutang dan warisan tidak saling mempengaruhi. Kewarisan tetap sah dengan terjadinya kematian meskipun ada hutang yang wajib ditunaikan. Buktinya, kalau ahli waris membayar hutang tersebut dengan hartanya sendiri, maka ia akan berhak mendapatkan harta warisan. Ahli waris boleh jadi tidak mendapatkan bagian, tetapi bukan karena hak mereka terhapus oleh hutang, melainkan karena warisan yang ada telah habis untuk membayar hutang pewaris. c) Dakwaan adanya kewajiban dua zakat atas harta yang sama juga tidak beralasan, sebab kedua orang itu (yang berhutang dan yang berpiutang) mengeluarkan zakat dari hartanya masing-masing. Yang satu mengeluarkan zakat benda yang ada ditangannya, dan yang lainnya mengeluarkan zakat harta berupa hutang yang dimilikinya. Hutang jelas berbeda dengan benda.[169] f. Zakat buah zaitun. Dari berbagai jenis buah-buahan, hanya dua macam yang tidak diperselisihkan kewajiban zakatnya, yaitu kurma dan anggur. Dalam beberapa jenis lain, seperti zaitun, terdapat perbedaan pendapat antara qawl qadim dan qawl jadid tentang zakatnya. Menurut qawl buah zaitun wajib dizakati. Sedangkan menurut qawl jadid, tidak ada kewajiban zakat padanya.[170] Dalil-dalil yang mendukung qawl qadim ialah sebagai berikut : 1) Hadits dari Umar Bin Khatab yang menetapkan zakat pada buah zaitun sebesar 10 %. 2) Hadits dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan “Buah zaitun wajib dizakati”.[171] 3) Masyarakat dinegeri penghasil zaitun, seperti daerah Syam, biasa menyimpan buah zaitun untuk jangka waktu yang lama, sehingga buah itu dapat dianggap sama dengan kurma dan anggur. Jadi, wajib dizakati.[172] Adapun dalil-dalil yang mendukung qawl jadid ialah : 1) Hadits, bahwa ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az Bin Jabal ke Yaman, beliau berkata : لاتأخذ الصدقة إلا من هذه الأربعة : الشعير والحنطة والتمر والزبيب (رواه الطبرانى والحاكم)[173] Artinya : “Janganlah kamu mengambil zakat kecuali dari empat macam ini, yaitu buah sya’ir, gandum, kurma, dan anggur” (H. R. Al-Thabrani dan Al-Hakim). 2) Meskipun zaitun banyak dihasilkan didaerah tertentu, tetapi tidak dijadikannya sebagai makanan pokok, namun hanya sebagai makanan pelengkap saja.[174] 3) Tidak ada sanad hadits yang shahih tentang kewajiban zakat buah-buahan selain kepada kurma dan anggur. Jadi, zakat tidak diwajibkan kecuali pada jenis yang disebutkan dalam hadits shahih, sebab pada dasarnya tidak ada kewajiban.[175] Adapun jawaban untuk menolak dalil qawl qadim ialah : a) Hadits dari Umar Bin Khatab tidak dapat dijadikan dalil karena sanadnya terputus (munqathi’) b) Hadits riwayat Ibnu ‘Abbas juga dianggap lemah, seperti yang dinyatakan oleh Al-Syafi’i sendiri.[176] c) Qiyas kepada kurma dan anggur tidaklah tepat, dikarenakan kurma dan anggur selain bisa disimpa lama juga merupakan makanan pokok. Sedangkan zaitun bukan makanan pokok meskipun dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama.[177] g. Mengganti puasa orang yang telah meninggal. Orang yang meninggalkan puasa pada bulan ramadhan, wajib menunaikannya (mengqadha`) sebelum tiba bulan ramadhan berikutnya. Dalam kaitan ini terdapat ikhtilaf tentang orang yang meninggal dunia sebelum mengqadha` puasanya, pada hal tidak ada halangan untuk mengundurkannya. menurut qawl qadim bahwa wali orang yang telah meninggal dapat melakukan puasa pengganti atas nama orang yang telah meninggal tersebut. Sedangkan menurut qawl jadid bahwa dari harta orang tersebut harus dikeluarkan kafarah, berupa makanan bagi orang miskin, satu mud untuk setiap hari puasanya yang tertinggal.[178] Dalil yang digunakan oleh qawl qadim ialah : 1) Hadits riwayat ‘Aisyah : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من مات وعليه صيام صام عنه وليه[179] Artinya : “bahwa Rasulullah SAW bersabda, barang siapa meninggal dunia padahal ia masih mempunyai kewajiban puasa, maka walinya boleh melakukan puasa atas namanya”. 2) Puasa adalah ibadat, bila batal mewajibkan kafarah. Karena itu puasa dapat diqadha`kan setelah kematian, sama halnya dengan ibadah haji.[180] 3) Hadits riwayat Ibnu ‘Abbas : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يارسول الله إن أمّى ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها فقال لوكان على أمك دين أكنت قاضيه عنها قال نعم قال فدين الله أحق أن يقضى[181] Artinya : “Datanglah seorang lelaki kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia padahal dia masih memiliki kewajiban puasa satu bulan, apakah saya boleh mengqadha`kannya”, maka Nabi menjawab , “Jika ibumu tidak sempat membayar hutang, apakah kamu akan membayarnya”, maka ia menjawab, “Tentu saja”, lantas Nabi mengatakan “Hutang yang menyangkut dengan Allah lebih berhak untum ditunaikan”. Adapun dalil yang digunakan oleh qawl jadid sebagai berikut : 1) Hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : من مات وعليه صوم شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا[182] Artinya : “Barang siapa meninggal dunia padahal ia mempunyai kewajiban puasa satu bulan, hendaklah diberi makan atas namanya, seorang miskin untuk setiap harinya”. 2) Pernyataan Ibnu ‘Abbas, Umar Bin Khatab, dan ‘Aisyah r.a. : “Siapa saja meninggal dunia padahal ada kewajiban puasa atasnya, maka wajib diberikan kafarat sebagai penggantinya, dan tidak boleh digantikan puasa oleh orang lain. Pernyataan ini tidak dibantah oleh sahabat yang lain, sehingga menjadi ijma’ sukuti.[183] 3) Puasa adalah kewajiban ibadah yang tidak dapat digantikan pada waktu hidupnya seseorang, walaupun ia lemah dan tidak dapat melakukannya sendiri. Setelah kematiannya pun puasa tidak dapat digantikan oleh orang lain, sama halnya dengan ibadah shalat.[184] Adapun jawaban terhadap dalil qawl qadim yang terdahulu adalah : a) Hadit-hadits yang disebutkan oleh qawl qadim itu bertentangan dengan hadits lainnya, sehingga kata “berpuasa” pada hadits-hadits itu harus diartikan dengan “melakukan tindakan sebagai pengganti puasa, yaitu memberi makan, bukan puasa yang sesungguhnya”. b) Qiyas kepada ibadah haji tidak tepat, karena dalam hal ini puasa berbeda dengan ibadah haji yang dapat digantikan pada masa hidup seseorang yang tidak melakukannya karena lemah, orang yang tidak dapat melakukan puasa karena lemah, kewajibannya beralih langsung kepada fidyah, bukan kepada penggantian.[185] h. Menjual Kulit Bangkai Yang Suci. Menurut qawl qadim, kulit bangkai yang telah disucikan tidak boleh dijual meskipun boleh digunakan. Sedangkan qawl jadid berpendapat boleh menjualnya. Qawl qadim mengemukakan beberapa dalil sebagai berikut : 1) Al-Qur`an surat Al-Maidah ayat 3 : حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير Artinya : ”Diharamkan atas kamu bangkai, darah, dan daging babi” (Q. S. Al-Maidah : 3) Ayat ini secara tegas mengaharamkan bangkai, karena itu memperjual-belikannya pun haram pula. Izin pemanfaatan kulit yang telah disucikan hanya merupakan rukhsah dan pengecualian. Jadi, untuk tindakan lain seperti menjualnya tetap berlaku hukum haram.[186] 2) Boleh memanfaatkan kulit bangkai bukan berarti boleh pula menjualnya, seperti boleh memakan bangkai dalam keadaan dharurah, tidak berarti boleh menjualnya. 3) Pengaruh samak itu terbatas hanya pada kesucian, dan itu tidak mempengaruhi bolehnya penjualan, seperti budak perempuan yang telah mempunyai anak dari tuannya, meskipun suci, tetapi tidak boleh dijual. Dalil-dalil qawl jadid ialah sebagai berikut : 1) Kulit itu telah menjadi suci, yang namanya benda suci boleh dijual, sama dengan kulit binatang yang disembelih. 2) Larangan menjual kulit bangkai dikarenakan sifat najisnya. Karena sifat itu sudah hilang setelah disamak, maka larangan menjualnya pun ikut hilang. Seperti larangan menjual arak yang terkait dengan najasahnya, begitu arak menjadi cuka, hukum menjualnya pun dibolehkan.[187] 3) Kulit itu menjadi najis karena kematian, penyamakan telah mengembalikan kesuciannya seperti sebelum mati. Maka boleh dijual sebagaimana ketika hidupnya. Selanjutnya dalil-dalil qawl qadim dijawab sebagai berikut : a) Ayat yang dilalahnya umum itu telah ditakhsis dengan hadits-hadits dan dalil lainnya. Sehingga hukum tentang bangkai yang terdapat dalam ayat tersebut telah dibatasi, dan tidak berlaku pada kulit yang telah disucikan. b) Mengqiyas kulit bangkai yang telah suci kepada bangkai dalam kondisi dharurah tidaklah tepat. Disebabkan pada kasus dharurah, pembolehan makan bangkai terkait dengan keadaan yang dialami oleh orang sebagai subjek hukum. Sedangkan pada kasus kulit ini, hukumnya dikaitkan dengan keadaan kulit yang merupakan objek hukum. c) Qiyas kepada budak perempuan juga tidak tepat. Sebab, larangan menjualnya didasarkan atas status kehormatannya. jadi, kesucian badannya tidak mempengaruhi hal itu. Ini berbeda dengan larangan menjual kulit yang terkait dengan sifat najasahnya.[188] i. Musaqah. Musaqah adalah hubungan kerja dalam perawatan kebun buah-buahan, baik kurma atau lainnya, dengan ketentuan upah pekerja diambil dari sebagian hasil buahnya.[189] Menurut qawl qadim, musaqah berlaku pada semua buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan qawl jadid menyatakan, musaqah hanya dibolehkan pada kurma dan anggur. Dalil yang digunakan qawl qadim adalah : 1) Qiyas kepada kurma, mengingat bahwa pohon-pohon tersebut sama dengan kurma dari segi tetap utuh, tidak rusak ketika buahnya dipanen dan sama-sama tidak boleh disewakan.[190] 2) Hadits yang menyatakan kebolehan hukum musaqah adalah bersifat umum, tanpa membatasi hanya pada kurma dan anggur.[191] 3) Kata-kata musaqah berasal dari sebutan umum bagi setiap pohon yang mempunyai batang (saq). Jadi, hukum tersebut juga berlaku umum meliputi semua pohon.[192] Adapun dalil yang digunakan qawl jadid adalah sebagai berikut : 1) Buah-buahan yang selain kurma dan anggur tidak wajib dizakati. Maka tidak dibolehkan melakukan musaqah atas selain keduanya.[193] 2) Kebolehan hukum musaqah pada kurma dan anggur adalah ruhksah (keringanan). Suatu hukum yang ditetapkan melalui ruhksah harus dibatasi hanya pada kasus yang diruhksahkan.[194] 3) Rasululllah SAW mengambil zakat buah kurma dan anggur dengan cara menerka jumlahnya, karena keduanya kelihatan secara jelas tanpa ada yang menghalangi. Maka musaqah pun hanya dibolehkan pada keduanya.[195] Adapun jawaban terhadap qawl qadim terdahulu ialah : a) Umumnya pengertian musaqah seperti disebutkan di atas tidak berlaku lagi. Karena telah ditakhsis dengan kurma dan anggur. Perbedaan yang melandasi takhsis di sini, pertama, kurma dan anggur dikenakan zakat sedangkan buah-buahan lainnya tidak. Kedua, buah kurma dan anggur nampak dengan jelas, sehingga dapat ditaksir, sedangkan buah-buahan lainnya tidak demikian.[196] b) Qiyas kepada kurma tidaklah tepat, karena kebolehan hukum musaqah pada kurma ditetapkan melalui rukhsah. Pada tempat berlaku rukhsah tidak boleh diqiyaskan menurut Imam Syafi’i.[197] j. Mempersaksikan Ruju’ Seorang suami yang menjatuhkan talak satu atau dua masih diberikan hak untuk ruju’ selama istrinya masih dalam ‘iddah. akan tetapi tentang keharusan mempersaksikan pernyataan ruju’ tersebut terdapat perbedaan pendapat. menurut qawl qadim mempersaksikan pernyataan ruju’ merupakan syarat untuk sah ruju’. sedangkan qawl jadid tidak mensyaratkannya.[198] Dalil-dalil yang mendukung qawl qadim ialah sebagai berikut : 1) Al-Quran surat Al-Thalaq ayat 2 yang berbunyi : فإذا بلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف وأشهدوا ذوي عدل منكم... Artinya : “Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka ruju’lah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil diantara kamu” (Q. S. Al-Thalaq : 2). Ayat ini berbentuk perintah agar mengadakan kesaksian atas pernyataan ruju’. Pada prinsip dasarnya bahwa perintah tersebut menunjukkan hukum wajib. 2) Qiyas ruju’ kepada nikah, karena keduanya merupakan tindakan untuk menghalalkan perempuan yang merdeka. Jadi, seperti halnya nikah, ruju’ pun tidak sah bila tidak ada saksi.[199] Adapun dalil-dalil qawl jadid adalah sebagai berikut : 1) Ruju’ merupakan tindakan untuk menyambung kembali pernikahan yang pernah terjadi. Maka tidak diperlukan saksi, sebagaimana tidak dibutuhkan kepada wali dan persetujuan isteri.[200] 2) Kesaksian tidak diperlukan pada jual beli yang ‘aqadnya mesti terdiri dari ijab dan qabul. Maka kesaksian lebih tidak dibutuhkan lagi pada ruju’ yang hanya terdiri atas ijab saja.[201] Berikut jawaban terhadap qawl qadim : a) Perintah yang terdapat dalam ayat di atas tidak menunjukkan kepada wajib. Tetapi dialihkan dari petunjuk dasarnya oleh ijma’. Sehingga perintah ini diarahkan kepada sunnat.[202] b) Qiyas ruju’ kepada nikah dinilai kurang tepat, disebabkan alasan berikut ini, pertama, penghalalan yang dimaksudkan pada keduanya tidaklah sama. Karena ‘aqad nikah merupakan tindakan menciptakan kehalalan dari awal (ibtida`an). Sedangkan ruju’ hanyalah tindakan melanjutkan kehalalan yang sebelumnya telah ada, namun terganggu oleh adanya thalaq. Kedua, kewajiban adanya kesaksian pada nikah sama dan erat kaitannya dengan kewajiban adanya wali, yang merupakan perwujudan dari prinsip kehati-hatian (Ihtiyath) sebagai sifat yang khas pada perbuatan yang menyangkut dengan kehormatan. Karena wali tidak mesti terlibat dalam hubungan ruju’, maka para saksi pun tentunya tidak diperlukan.[203] Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Fatwa Dari uraian tentang dalil-dalil, metode istidlal, dan jawaban terhadap qawl qadim pada setiap kasus contoh yang telah dikemukan pada bagian lalu, jelas sekali terlihat bahwa kajian atau diskusi yang disajikan selalu berkisar pada materi dalil yang digunakan dan cara pandang terhadap dalil sebagai sarana untuk sampai kepada kesimpulan hukum yang dimaksudkan. Hal seperti ini tidak saja terlihat pada uraian Al-Syafi’i, tetapi juga pada uraian yang diberikan oleh ulama pengikutnya, seperti Al-Mawaridi, Al-Syairazi dan Al-Nawawi. Berdasarkan penulusuran terhadap uraian-uraian itu, yang dapat ditemukan hanyalah keterkaitan yang sangat erat antara hukum dengan dalil-dalil dari al-qur`an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dari sisi ini, perubahan hukum dari qawl qadim ke qawl jadid, terjadi karena hal-hal sebagai berikut : a) Perbedaan ayat atau sunnah yang digunakan sebagai dalil. Misalnya pada kasus air musta’mal, qawl qadim merujuk Surat Al-Furqan ayat 48 sebagai dalil, sedangkan qawl jadid menggunakan ayat 6 dari Surat Al-Maidah sebagai dalil. Mengenai batas waktu magrib, qawl qadim bersandar kepada Hadits Abdullah bin ‘Amr dan Hadits Zaid Bin Tsabit, sedangkan qawl jadid menggunakan Hadits Ibnu ‘Abbas dan Hadits riwayat Rafi’ bin Khudaij b) Wajh istidlal atau cara pandang dalam memahami ayat atau hadits yang sama. Misalnya kasus mempersaksikan ruju’, Al-Syafi’i tidak mengemukakan ayat lain untuk qawl jadidnya. Yang mengalami perubahan adalah cara pandang terhadap ayat yang bersangkutan. Demikian juga Hadits tentang penarikan zakat dari orang kaya yang dikemukakan pada qawl qadim sebagai dalil meniadakan kewajiban zakat dari orang yang berhutang, karena difahami yang berhutang tidaklah termasuk orang kaya. Setelah diteliti ulang pada qawl jadid, ternyata hadits itu tidak berbicara tentang batas kekayaan sehingga tidak menunjukkan bahwa orang yang berhutang tidak kaya. Jadi Hadits tersebut sebenarnya tidak relevan, karena itu hukum yang ditemukan pada ijtihad lama harus diubah. c) Perbedaan pandangan terhadap adanya ijma’. Misalnya, pada qawl qadim, Al-Syafi’i menganggap perkataan Umar bin Khatab dan Ibnu ‘Abbas tentang masalah zakat buah zaitun sebagai ijma’, karena tidak ada shahabat lain yang membantahnya. Tetapi setelah melalui penelitian ulang yang lebih cermat, maka Al-Syafi’i beranggapan bahwa tidak adanya bantahan itu tidak berarti bahwa mereka sepakat tentang hukum tersebut. d) Perbedaan hukum ashl dan ‘illah pada qiyas yang digunakan. Misalnya, pada qawl qadim ia menjadikan nikah sebagai ashl bagi ruju’ sehingga kesaksian diwajibkan pada ruju’ seperti wajibnya pada nikah, tetapi pada qawl jadid ruju’ diqiyaskan kepada jual beli, dan kesaksian pun tidak wajib lagi. Pada qawl qadim ia berpendapat ‘illah wajibnya zakat buah-buahan adalah karena termasuk makanan dan dapat disimpan lama. Berdasarkan itu buah zaitun wajib dizakati. Setelah meneliti kembali, ia berkeyakinan yang menjadi ‘illah zakat buah-buahan adalah sisi makanan pokoknya, sehingga buah zaitun tidak wajib dizakati. e) Perbedaan pandangan terhadap kedudukan qawl shahabi. Misalnya, pada qawl qadim, zakat zaitun diwajibkan atas dasar pendapat Umar dan Ibnu ‘Abbas. Tetapi hukum itu berubah pada qawl jadid, karena pada qawl jadid ia tidak mengakui perkataan sahabat sebagai hujjah. Dari beberapa contoh kasus yang dibahas pada bagian lalu, dapat di kemukakan, bahwa dalam berijtihad, Al-Syafi’i selalu konsisten dengan metode dan kaedah-kaedah ijtihad yang dirumuskannya dalam ilmu Ushul Fiqh. Semua fatwanya, baik dalam qawl qadim maupun qawl jadid, senantiasa di sertai dengan dalil-dalil yang jelas dan dapat ditelusuri, diperiksa, dan diuji kembali kesesuaiannya dengan kaedah terkait. Melalui tinjauan dari sudut metodologi dan aplikasinya, tampak nyata bahwa perubahan fatwa Al-Syafi’i dari qawl qadim ke qawl jadid, terkait erat dengan perbedaan dalil-dalil yang digunakan atau perbedaan wajh istidlal sesuai dengan tingkat kejelian dalam menggunakan dalil yang sama. Pada contoh-contoh tersebut jelas sekali terlihat bahwa setiap perubahan fatwa hukum, selalu terkait dengan kaedah ijtihad, materi dalil, dan wajh istidlal yang mendasarinya. Dari penulusuran ini juga ditemukan data bahwa Al-Syafi’i dan ulama pengikutnya juga merujuk kepada hal-hal yang berkenaan dengan kondisi lingkungan, sosial atau ekonomi dalam pembahasan mereka terhadap qawl qadim dan qawl jadid. Umpamanya menjual kulit bangkai yang telah disucikan, menurut Nahrawi Abdussalam, Imam Syafi’i berpendapat pada qawl jadid tentang kebolehan menjual kulit bangkai ini didasari oleh faktor sosial dan ekonomi, karena saat Al-Syafi’i menetap di Mesir, kebutuhan kepada kulit binatang sebagai komoditi industri terjadi peningkatan, sehingga Al-Syafi’i membolehkan penjualannya.[204] Tetapi hal ini dibantah oleh sebahagian ulama, dengan mengemukakan alasan bahwa para ulama Syafi’iyah terutama dari generasi Ashhab Al-wujuh, tidak pernah mengatakan ini sebagai latar belakang perubahan fatwa, padahal mereka merupakan ulama Syafi’iyah yang paling tahu tentang metode-metode yang digunakan Al-Syafi’i dalam merumuskan hukum. Demikian juga tentang jarak antara Bagdad dan Mesir yang tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kehidupan masyarakatnya.[205] Dalam kenyataannya meskipun perbedaan kultur masyarakat baqhdad dan mesir bukan faktor yang mendorong perubahan fatwa, tetapi perbedaan kondisi sosial dan lingkungan dengan berbagai bentuknya sangat mungkin menempati posisi penting sebagai faktor yang mendorong Al-Syafi’i melakukan kajian ulang terhadap fatwa lama. Dalam kajian ulang yang dilakukan di mesir, bila beliau menemukan dalil baru dan wajh istidlal yang dianggap lebih kuat, maka beliau merevisi fatwa yang lama. Jadi, kondisi sosial dan kultur masyarakat yang berbeda, bisa dikatakan sebagai pendorong imam Syafi’i untuk melakukan kajian ulang. Sedangkan perubahan fatwa dalam kajian ulang, didasari oleh penemuan dalil baru dan cara pandang yang berbeda terhadap dalil yang sama, yang menurut imam Syafi’i keduanya lebih kuat. Dalam perjalanan intelektualnya, Al-Syafi’i terlihat berani untuk berada pada posisi menentang arus. Ketika di iraq, ia berhadapan dengan para tokoh-tokoh dari ahli ra’yi, dan di mesir berhadapan dengan teman-teman seperguruannya dari tokoh-tokoh ahli hadist. Kedua golongan tersebut, yang dalam kajian ushul fiqh di sebut lebih akomodatif terhadap perkembangan lingkungan, jelas telah duluan hadir dan berpengaruh atau mungkin terpengaruh oleh lingkungannya masing-masing. Seandainya Al-Syafi’i cenderung mengikuti arus lingkungan, niscaya ia tidak akan mengalami banyak pertentangan dengan para ulama dimana ia berada. Jadi, setelah selesainya penataan kaedah-kaedah, imam Syafi’i tinggal mengaplikasikannya dalam ijtihad secara konsisten dan taat asas. Ruang Lingkup aplikasi kaedah tersebut pasti terpengaruh pada tuntutan lingkungan dan kondisi sosial, tetapi proses dan arah aplikasi kaedah itu tidah dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor luar. Dengan demikian, ijtihad sebagai aplikasi kaedah terhadap dalil-dalil senantiasa menghasilkan hukum-hukum yang “pasti”. Tetapi penerapannya tidak sepenuhnya terlepas dari pengaruh beragam kondisi yang ada dalam masyarakat sebagai subjek hukum. Dapatlah dikatakan bahwa dalam mazhab Syafi’i, kondisi sosial hanya dapat mempengaruhi hukum pada tingat sekunder, sedangkan yang mempengaruhi hukum pada tingkat primer adalah dalil-dalil dan wajh istidlal. Qawl qadim dan qawl jadid dalam perkembangan fiqh Al-Syafi’iyah Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Imam Syafi’i selama di Mesir banyak melahirkan fatwa-fatwa yang berbeda dengan fatwa lama di Baghdad. Terkadang beliau menetapkan dua pendapat dalam satu permasalahan dan langsung mentarjih salah satu keduanya, terkadang beliau membiarkan keduanya dengan tanpa tarjih, hal ini membuka peluang bagi para mujtahid dalam mazhabnya untuk melakukan tarjih.[206] Berkaitan dengan pengamalan qawl qadim dan qawl jadid, Imam Syafi’i menegaskan bahwa dari kedua pendapatnya ini, yang harus diamalkan adalah qawl jadid. Beliau mengatakan “ Tidak saya halalkan orang-orang meriwayatkan fatwa saya di Baghdad”.[207] Bersamaan dengan pernyataannya ini beliau juga mengirimkan surat kepada Ahmad bin Hanbal di Baghdad untuk tidak dijadikan qawl qadim sebagai pegangan bagi siapapun.[208] Atas dasar inilah Ahmad bin Hanbal menekankan kepada sahabat-sahabatnya agar berpegang kepada kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’i di Mesir.[209] Sejalan dengan pernyataan Al-Syafi’i, para ulama pengikutnya juga menegaskan demikian. Al-Nawawi umpamanya, menegaskan bahwa setiap permasalahan yang berbeda antara qawl qadim dan qawl jadid, maka yang harus diamalkan adalah qawl jadid, karena itulah yang lebih sahih dan dianggap sah sebagai mazhab Syafi’i. sebab, pada prinsipnya semua fatwa qawl qadim yang bertentangan dengan qawl jadid telah ditinggalkan (marju’anh) dan tidak dapat dipandang lagi sebagai Mazhab Al-Syafi’i.[210] Itulah sebabnya kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Syafi’iyah sesudah Imam Syafi’i selalu memuat fatwa qawl jadid yang lengkap dengan dalil-dalil yang mendukungnya, serta fatwa lanjutan yang lahir sebagai pengembangan darinya yang meliputi qawl mukharraj dan pendapat Ashhab Al-Wujuh yang diperoleh dari tafri’ dan takhrij. Sedangkan fatwa-fatwa qawl qadim hanya dimuat sebagai bahan perbandingan dalam kajiannya. Al-Nawawi juga mengambil pendapat-pendapat ulama lain dalam mengukuhkan pandangan seperti ini. Di antaranya pandangan Imam Al-Haramain yang menyatakan bahwa qawl qadim bukan merupakan bagian dari Mazhab Syafi’i, karena pendapat tersebut telah ditarik oleh Al-Syafi’i sendiri. Sebab beliau telah berpegang kepada pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat lamanya. Maka pendapat yang telah ditarik itu tidak termasuk dalam mazhab.[211] Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya pendapat-pendapat Imam Syafi’i, telah menimbulkan dinamika mazhab yang hidup. Kondisi seperti ini membuat ruang yang luas bagi para mujtahid mazhab dan mujtahid tarjih sesudahnya untuk mengadakan pentarjihan dan memilih salah satu dari pendapatnya, serta menyeleksi dasar-dasar yang digunakan untuk pemilihan pendapat tersebut.[212] Selanjutnya para mujtahid dalam mazhabnya terus melakukan ijtihad. Selain upaya pengembangan fatwa-fatwa qawl jadid, ijtihad mereka juga meliputi peninjauan ulang dan penelitian kembali terhadap fatwa serta dalil dan cara istidlal yang mendukungnya. Untuk ini mereka melakukan penelusuran terhadap hadits-hadits yang semakin mudah ditemukan pada abad-abad kemudian, dan pemeriksaan terhadap qiyas yang digunakan. Melalui ijtihad yang berkelanjutan itu, mereka menemukan adanya beberapa fatwa qawl qadim yang ternyata lebih kuat dari fatwa qawl jadid, dan mereka kembali mengangkatnya dalam fatwa-fatwa.[213] Hal ini mereka lakukan demi melaksanakan kaedah yang diucapkan oleh Al-Syafi’i sendiri, yaitu : اذا وجدتم فى كتابى خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله ودعوا قولى[214] Artinya : “Bila kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi dengan sunnah Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah Rasulullah dan tinggalkan perkataan saya”. Beliau juga mengatakan : اذا صح الحديث فهو مذهبى [215] Artinya : “Apabila terdapat hadits shahih, maka itulah mazhab ku”. Menurut Imam Al-Haramain, fatwa-fatwa ashhab yang sesuai dengan qawl qadim ini harus dipandang sebagai hasil ijtihad mereka sendiri, dan tidak mengaitkannya kepada Al-Syafi’i. Sejalan dengan ini Abu ‘Amr mengatakan, tindakan mereka memilih qawl qadim tersebut sama kedudukannya dengan pemilihan fatwa dari luar mazhab Syafi’i. Tetapi Imam Nawawi menegaskan bahwa ini hanya berlaku terhadap qawl qadim yang bertentangan dengan qawl jadid dan tidak ditopang oleh hadits shahih. Adapun jika fatwa qawl qadim tidak bertentangan dengan fatwa qawl jadid atau fatwa itu didukung oleh hadits shahih, maka qawl qadim itu adalah sah sebagai mazhab Syafi’i, karena sebenarnya Al-Syafi’i tidak mencabut fatwa ini.[216] Salah satu contoh dalam permasalahan ini adalah mengenai batas akhir waktu magrib, qawl qadim berpendapat, batasnya sampai hilang syafaq yang merah. Sedangkan menurut qawl jadid waktunya hanya ukuran pelaksanaan wudhu`, menutup aurat, azan, iqamah, dan shalat lima raka’at. Dalil yang secara tegas mendukung qawl jadid disini adalah hadits Jibril. Sedangkan salah satu dalil yang mendukung qawl qadim ialah hadits riwayat Muslim, yaitu : ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق (رواه مسلم)[217] Artinya : “Dan waktu shalat magrib itu selama belum hilanglah syafaq” (H.R. Muslim) Dalam penelusuran para mujtahid tarjih terhadap dalil-dalil qawl qadim dan qawl jadid disini, mereka menemukan bahwa, ternyata hadits riwayat Muslim lebih kuat ketimbang hadits Jibril. Bahkan menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, qawl qadim disini sebenarnya adalah qawl jadid jua, karena Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitab Al-Imla`, jika ada hadits shahih pada masalah ini, maka inilah yang menjadi pendapatnya. Kitab Al-Imla` adalah salah satu kitab yang disusun oleh Al-Syafi’i pada periode pembentukan qawl jadid.[218] Karena dalam melakukan kajian tentang masalah ini, para mujtahid tarjih menemukan bahwa dalil yang mendukung qawl qadim adalah hadits shahih yang tidak terjadi pertentangan dengan hadits lain, maka mereka mentarjih qawl qadim, dan hadits Jibril pun diarahkan kepada makna yang lain. Pentarjihan qawl qadim di sini didasari oleh beberapa alasan, diantaranya : 1. Hadits riwayat Muslim lebih kuat dari hadits Jibril karena perawinya lebih banyak dan isnadnya pun shahih. Karena inilah, Muslim mencantumkan hadits ini dalam kitab shahihnya, sedangkan hadits Jibril tidak dicantumkan. 2. Hadits Jibril disampaikan oleh Nabi ketika masih berada di Mekah, sedangkan hadits riwayat Muslim disampaikan di Madinah. Hadits yang datangnya kemudian tentu lebih diutamakan dari hadits yang telah datang sebelumnya. 3. Makna yang terkandung dalam hadits Jibril dimaksudkan untuk menyatakan waktu yang ikhtiyar.[219] 4. Imam Syafi’i sendiri pernah menyatakan dalam Al-Imla`, jika pada masalah ini (akhir waktu magrib sampai hilang syafaq) terdapat hadits shahih maka inilah fatwanya. Lantas hadits shahih pun ditemukan.[220] Dari uraian ini dapatlah dikatakan bahwa, apa yang dilakukan mujtahid tarjih dalam menguatkan sebagian qawl qadim bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan pernyataan Imam Syafi’i, tetapi lebih kepada melestarikan kembali kaedah Imam Syafi’i, bahwa setiap ada hadits yang shahih, maka itulah mazhabnya. Para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat mengenai jumlah qawl qadim yang ditarjih dan difatwakan kembali. Menurut Al-Nawawi, jumlahnya sekitar dua puluh atau lebih.[221] Sedangkan ulama lain mengatakan, jumlahnya hanya delapan belas kasus, yaitu : a) Tidak wajib menjauhkan diri dari najis dalam air yang sampai dua kulah. b) Tidak bernajis air yang mengalir kecuali dengan sebab berubah c) Tidak meruntuhkan wudhu` dengan sebab menyentuh mahram (orang yang haram dinikahi disebabkan hubungan keturunan, perkawinan dan persusuan). d) Haram memakan kulit bangkai yang telah disamak e) Tatswib pada azan subuh f) Berakhir waktu magrib sampai hilang syafaq yang merah g) Sunnat menyegerakan shalat isya h) Tidak sunnat membaca surat pada dua rakaat terakhir i) Ma’mum membaca amin secara jihar pada shalat yang disunatkan jihar. j) Sunnat membuat garis pada tempat berdiri untuk shalat jika tidak mendapatkan suatu benda yang diletakkan di hadapannya. k) Boleh mengikuti imam dalam pertengahan shalat bagi orang yang shalat secara tidak berjama’ah. l) Makruh memotong kuku mayat m) Tidak memperhitungkan sampai tahun pada zakat rikaz (harta karun) n) Wali boleh menggantikan puasa atas nama orang yang telah meninggal yang mempunyai kewajiban berpuasa. o) Boleh mensyaratkan untuk bertahallul dari ihram dikarenakan sakit p) Boleh memaksa salah seorang yang melakukan ‘aqad syirkah terhadap lainnya dalam membangun sebuah bangunan. q) Status mahar dalam kekuasaan suami adalah kekuasaan dhamanah (dibayar apabila hilang atau rusak baik secara sengaja atau tidak). r) Wajib had dengan sebab bersenggama dengan budak perempuan yang merupakan mahram.[222] C. Analisa Penulis Al-Syafi’i merupakan seorang ilmuan yang mempunyai basis ilmu dari dua aliran yang berbeda, sehingga melahirkan metode ijtihad yang tersusun rapi dan sistematis dan menjadi dasar bagi ilmuan lainnya dalam mengistinbathkan hukum. Bahkan seorang orientalis mengistilahkan Al-Syafi’i sebagai Arsitek Ilmu fiqh. Sehubungan dengan metode ijtihad yang digunakan, otoritas wahyu sangat ditekankan oleh Al-Syafi’i sebagai sumber hukum. Posisi yuridisnya ditempatkan pada urutan yang pertama. Dalam memahami wahyu, Al-Syafi’i melihat dari sudut lafaz dan non lafaz. Dalam hal ini beliau juga merumuskan klasifikasi kata-kata, dengan tujuan untuk meminimalkan segala bentuk distorsi dalam proses interpretasi. Karena Al-Syafi’i berprinsip hanya orang yang mempunyai pengetahuan yang memadai saja yang berwenang melakukan interpretasi terhadap teks. Sebelum suatu ayat ditetapkan sebagai dalil hukum, Imam Syafi’i meneliti dan memahaminya secara teliti dan cermat terlebih dahulu, Al-Syafi’i memandang semua ayat Al-Qur`an adalah qath’i al-wurud, tetapi tidak semua Al-Qur`an itu qath’i dilalah. Ketelitiannya dalam melihat nash Al-Qur`an menjadikan metode ijtihad dan hasil ijtihadnya tetap relevan dengan perkembangan zaman. Walaupun Imam Syafi’i menempatkan sunnah sebagai sumber kedua dalam menetapkan hukum, namun menurutnya, sunnah menempati kedudukan yang sangat penting. Sebab pada prinsipnya sunnah dan Al-Qur`an adalah wahyu. Al-Qur`an hanya memuat ketentuan-ketentuan dasar dalam bentuk global, memerlukan kehadiran sunnah untuk menjelaskan dan menafsirkannya. Mengingat sunnah berfungsi memberi komentar dan penjelasan terhadap Al-Qur`an yang belum jelas, maka Al-Qur`an disebut sebagai sumber asasi, dan sunnah merupakan sumber bayani. Al-Syafi’i sangat teliti dan hati-hati dalam menerima setiap hadits. Menurutnya hadits mutawatir tidak diragukan lagi keberadaannya sebagai dalil. Sedangkan dalam menerima hadits ahad dan hadits mursal, beliau menetapkan beberapa syarat tertentu. Sedangkan ijma’ dalam pandangan Al-Syafi’i juga menjadi sumber hukum bila kasus hukum yang terjadi tidak ditemukan gambaran dan penjelasannya dalam Al-Qur`an dan hadits, dengan pertimbangan bahwa ummat tidak akan sepakat pada suatu kesalahan. Dalam penggunaan ijma’, Al-Syafi’i mensyaratkan beberapa ketentuan, yaitu ijma’ yang terjadi mesti berbentuk sharih, beliau tidak menggunakan ijma’ satu komunitas penduduk tertentu, ijma’ harus bersandarkan pada Al-Qur`an dan hadits, penggunaan ijma’ secara berurutan berada pada posisi setelah hadits ahad, dan ijma’ yang tidak diragukan adalah ijma’ shahabi dengan pertimbangan bahwa sahabat adalah orang yang tahu betul tentang Rasul. Imam Syafi’i menempatkan qiyas pada urutan keempat sebagai sumber hukum. Menurutnya, qiyas merupakan metode untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur`an dan hadits. Dalam penggunaan qiyas, Al-Syafi’i berpijak pada beberapa prinsip, yaitu, qiyas adalah satu-satunya metode nalar yang boleh digunakan mujtahid dalam berijtihad, penggunaan qiyas harus didasari dari tekstual Al-Qur`an dan hadits, dan pengetahuan yang ditemukan dengan jalan qiyas secara zahir dianggap benar dan hanya mengikat hanya bagi sipenemunya, tidak bagi yang lain karena jalan menemukannya adalah nalar. Dalam pandangan Al-Syafi’i setiap hukum harus dikaitkan dengan bukti tekstual. disebabkan pandangan ini, beliau menolak konsep istihsan dan mashlahah mursalah, karena semua permasalahan yang terjadi sudah ada ketentuannya dalam nash, baik secara langsung atau tidak langsung. Dari dalil yang digunakan Al-Syafi’i dalam mengistinbathkan hukum beliau menentukan langkah-langkah ijtihadnya dengan berpijak pada dalil hukum secara berurutan, yaitu nash-nash Al-Kitab, Nash-nash Hadits Mutawatir, Ijma’ ulama terdahulu, Nash-nash Hadits Ahad, Petunjuk zahir Al-Qur`an dan Hadits, Qiyas, dengan memperhatikan Kaedah-kaedah kulliyah, Cakupan nash atau ijma’, Qiyas mukhil, dan Qiyas al-syabah. Dari perkembangan pemikiran yang dilahirkan oleh Al-Syafi’i seiring dengan perjalanan intelektualnya, menghasilkan qawl qadim dan qawl jadid. Kedua qawl ini dibedakan oleh waktu dan tempat. Perubahan fatwa dari qawl qadim ke qawl jadid dapat dilihat dari contoh beberapa kasus yang terjadi sebagaimana penulis gambarkan sebelumnya. Secara umum contoh kasus itu menunjukkan bahwa perubahan didasari oleh temuan dalil baru yang lebih kuat, dan sudut pandang yang berbeda terhadap dalil yang sama dalam suatu kasus. Akan tetapi kegiatan ijtihadnya tidak lepas dari kondisi sosial, budaya, dan geografis, sebab perbedaan pada aspek-aspek tersebut selalu melahirkan lapangan ijtihad baru. Pengaruh seperti ini cukup jelas tampak pada keragaman masalah yang dibahasnya. Setelah terbentuknya qawl jadid, maka Al-Syafi’i telah melahirkan pijakan baru dalam pengamalan hukum-hukum bagi para pengikutnya. Karena Al-Syafi’i dan ulama-ulama pengikutnya membatasi pengamalan tentang hukum hanya pada qawl jadid. Tetapi Terhadap qawl qadim dan qawl jadid yang tidak ditarjihkan oleh Imam Syafi’i, membukakan ruang ijtihad bagi para mujtahid mazhabnya untuk mengkaji dan meneliti ulang serta mengoreksi dalil masing-masing. Dalam penelitian ini, mereka mentarjih beberapa qawl qadim. Pertarjihan yang dilakukan oleh mujtahid ini merupakan penguatan kembali dan pelestarian terhadap apa yang sudah ditetapkan Al-Syafi’i dalam kaedahnya.
 [1]W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1982), hal. 649. [2]Koncoro Ninggrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Geramedia, 1981), hal. 16. [3]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Ad’illahuhu, Jld. I, Cet IV, (Damsyik : Dar Al-Fikr, 2004), hal. 136. [4]Al-Syafi’i, Al-Risalah, (Kairo : Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, n.d), hal. 39. [5]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cet VIII, (Jakarta : Pusta Firdaus, 2003), hal. 15. [6]Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul, Jld I, (Beirut : Dar Ihya’ Al-Tarats Al-Arabi, n.d), hal. 217. [7]Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islami, Jld I, Cet I, (Damsyik : Dar Al-Fikr, 1986), hal. 421. [8]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, , hal. 39. [9]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Cet XII, (Kuwait : Dar Al-Qalam, 1978), hal. 23. [10]Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i, Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fiqh, Cet I, (Jakarta : Lentera Barasmita, 2005), hal. 314 – 316) [11]Ibid, hal. 318. [12]Abu Zahrah, Ushul Fiqh…, hal. 121. [13]Al-Ghazali, Al-Mustashfa , Jld II…, hal. 350. [14]Muhammad Bin Ali Al-Syawkani, Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min Ilmi Al-Ushul, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d), hal. 250. [15]Khallaf, Ushul fiqh…, hal. 33. [16]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 440. [17]Imam Al-Razi, Al-Mahshul Fi Ilmi Al-Ushul, Jld II, Cet I, (Mekah : Maktabah Nizar Mustafa Al-Baaz, 1997), hal. 460. [18]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 250. [19]Tajuddin Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, Jld II, (Semarang : Toha Putra, n.d), hal. 4. [20]Khallaf, Ushul fiqh…, hal. 186. [21]Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, Jld I…, hal. 407. [22]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, , hal. 228. [23]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 340. [24]Zakiyuddin Sya’ban, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Kairo : Maktabah Dar Al-Ta’lif, 1965), hal. 330. [25]Al-Razi, Al-Mahshul…, hal. 578. [26]Zakiyuddin, Ushul Al-Fiqh…, hal. 332. [27]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 204. [28]Ibid, hal. 205. [29]Al-Razi, Al-Mahshul, Jld I…, hal. 134. [30]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 569. [31]Zakaria Al-Anshari, Ghayah Al-Wushul Bi Syarh Labbi Al-Ushul, (Semarang : Toha Putra, n.d), hal. 46. [32]Al-Ghazali, Al-Mustashfa , Jld I…, hal. 341. [33]Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, Jld I…, hal. 301. [34]Ibid, hal. 305. [35]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 293. [36]Ibid, hal. 295-305. [37]Al-Ghazali, Al-Mustashfa , Jld I…, hal. 359. [38]Zakiyuddin, Ushul Al-Fiqh…, hal. 376. [39]Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, Jld I…, hal. 235. [40]Al-Ghazali, Al-Mustashfa , Jld II…, hal. 186. [41]Ibid, hal. 189. [42]Ibid, hal. 188. [43]Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, Jld I…, hal. 240. [44]Ibid. hal. 241. [45]Ibid, hal. 242. [46]Al-Ghazali, Al-Mustashfa , Jld II…, hal. 191. [47]Imam Al-Haramaini, Al-Burhan Fi Ushul Al-Fiqh, Jld I, Cet I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1997), hal. 167. [48]Al-Razi, Al-Mahshul, Jld II…, hal. 701. [49]Ibid, hal. 703. [50]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 71. [51]Ibid, hal. 106-107. [52]Ibid, hal. 108. [53]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 449 [54]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 33. [55]Ibid, hal. 78. [56]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld VII, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1990), hal. 202. [57]Ibid, Jld VIII, hal. 666. [58]Ibid, hal. 667. [59]Ibid, hal. 274. [60]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 33. [61]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 450. [62]Khallaf, Ushul fiqh…, hal. 40. [63]Ibid, hal. 41. [64]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 359. lihat juga Al-Syafi’i, Al-Umm, Jld VII…, hal. 288. [65]Abu Zahrah, Ushul Fiqh…, hal. 156. [66]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 370. [67]Ibid, hal. 462. [68]Ibid, hal. 539. [69]Ibid, hal. 465. [70]Ibid, hal. 91. [71]Ibid, hal. 92. [72]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 461. [73]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 216. [74]Al-Haramaini, Al-Burhan , Jld II…, hal. 195. [75]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld VII…, hal. 201. [76]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 489. [77]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld VII…, hal. 293. [78]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 472. [79]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 433 [80]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld VII…, hal. 282. [81]Zakiyuddin, Ushul Al-Fiqh…, hal. 84. [82]Khallaf, Ushul fiqh…, hal. 51. [83]Ibid, hal. 52. [84]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld VIII…, hal. 620. [85]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 446. [86]Ibid, hal. 441. [87]Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, Jld II…, hal. 195. [88]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 440. [89]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld VII…, hal. 278. [90]Wahbah, Ushul Fiqh…, hal. 603. [91]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 477. [92]Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’ Bi Jam’i Al-Jawami’, Jld II, Cet I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2000), hal. 202. [93]Al-Syafi’i, Al-Risalah…, hal. 479. [94]Ibid, hal. 483. [95]Ibid, hal. 498. [96]Ibid, hal. 503. [97]Ibid, hal. 507. [98]Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’…, hal. 44. [99]Al-Syafi’i Al-Risalah…, hal. 479. [100]Ahmad Khatib, Al-Nufahat ‘ala Syarh Al-Waraqat, (Jeddah : Al-Haramaini, n.d) hal. 137. [101]Al-Razi, Al-Mahsul, jld IV…, hal. 1161. [102]Muhammad bin Nizamuddin Al-Anshari, Fawatih Al-Rahmut bi Syarh Muslim Al-Tsabut, jld II, (Beirut : Dar Ihya’ Al-Tarats Al-‘Arabi, n.d) hal. 320. [103]Abu Zahrah, Imam Syafi’i..., hal. 461-464. [104]Al-Syafi’i Al-Risalah…, hal. 513. [105]Al-Haramaini, Al-Burhan, jld II…, hal. 60. [106]Ibid, hal. 205. [107]Al-Syafi’i Al-Risalah…, hal. 599. [108]Al-Ghazali, Al-Mustashfa , Jld II…, hal. 332. [109]Al-Razi, Al-Mahsul, jld IV…, hal. 1292. [110]Al-Syafi’i Al-Risalah…, hal. 545. [111]Al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi Wa ‘Amirah, Jld I, Cet I, (Kairo ; Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, 1922), hal. 43. [112]Khallaf, Ushul Fiqh…, hal. 91. [113]Zakiyuddin, Ushul Fiqh…, hal. 200. [114]Al-Sayuthi, Al-Asybah wa Al-Nadhair fi Al-Furu’i, cet II, (Jeddah : Al-Haramaini, 1960), hal. 43. [115]Ahmad Khatib, Al-Nufahat…, hal. 150. [116]Al-Sayuthi, Al-Asybah wa Al-Nadhair…, hal. 37. [117]Al-Razi, Al-Mahsul, jld IV…, hal. 1435. [118]Sayid Alwi Al-Saqaf, Fawaid Al-Makiyah fima Yahtajuhu Thulabat Al-Syafi’iyah, (Jeddah : Al-Haramaini sanqafurah, n.d) hal. 50. [119]Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 39. [120] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Jld II, Cet. I, (Beirut : Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006), hal. 170. [121]Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 505. [122]Ibid, hal. 507. [123]Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’, jld II…, hal. 153. [124]Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 477. [125]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 507. [126]Al-Subki, Jam’u Al-Jawami’, jld II, hal. 354. lihat juga Al-Ghazali, Al-Mustashfa, jld II, hal. 271. lihat juga Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’, jld II, hal. 154. [127]Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 597. [128]Al-Syafi’i, Al-Umm,jld VII..., hal.280. [129]Ibid, hal. 24. [130]Al-Zarkasyi, Tansyif Al-Masami’, jld. II…, hal. 158. [131]Al-Syafi’i, Al-Risalah..., hal. 599. [132]Al-Syafi’i, Al-Umm,jld VII..., hal.280. [133]Al-Syawkani, Irsyad Al-Fuhul…, hal. 258. [134]Yang dimaksudkan dengan nash di sini, ialah lafadh yang secara pasti hanya menunjukkan satu arti dan tidak mungkin ditakwil kepada arti yang lain. Sedangkan zahir adalah penunjukan lafadh kepada makna dasarnya, tetapi di samping itu ada kemungkinan untuk mengartikannya dengan makna lain yang jauh dari penunjukan lafadh. [135]Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Jld I, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d), hal. 9. [136]Al-Saqaf, Fawaid Al-Makiyah…, hal. 55. [137]Ibid, hal. 56. [138] Rincian ini juga terlampir pada bagian akhir dari penulisan ini [139]Abi Daud Sulaiman Bin Asy’at, Sunan Abi Daud, Cet. I, (Beirut : Dar Al-Fikr, 2001), hal. 37. [140]Abi Ishaq Al-Syairazi, Al-Muhazzab Fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i, Jld. I, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d), hal. 8. [141]Al-Mawaridi, Al-Hawi Al-Kabir Fi Fiqh Mazhab Al-Imam Al-Syafi’i, Jld. I, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), hal. 298. [142]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 8. [143]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. I…, hal. 298. [144]Jalaluddin Al-Mahalli, Kanzu Al-Raghibin, Jld I, Cet I, (Kairo ; Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, 1922), hal. 20. [145]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. I…, hal. 298. [146]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram Min Adillah Al-Ahkam, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, n.d.), hal. 73. [147]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. I…, hal. 363. [148]Ibid, lihat juga Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 21. [149]Al-Syafi’i, Al-Umm,jld I..., hal.49. [150]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 21. [151]Al-Mahalli, Kanzu Al-Raghibin, Jld I…, hal. 112. [152]Ahmad Bin Syu’ib Al-Nasa`i, Sunan Al-Nasa`i, Jld. I, Cet. II, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 186. [153]Ibid, Jld. II, hal. 122. [154]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. II…, hal. 20. [155]Al-Syafi’i, Al-Umm,jld I..., hal.92. [156]Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jld. I, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d.), hal. 140. [157]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jld. I, Cet. I, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1998), hal. 374. Lihat juga Abi Daud, Sunan Abi Daud…, hal. 92. [158]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. II…, hal. 21-22. [159]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 141. [160]Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram…, hal. 120. [161]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jld. II…, hal. 381. [162]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 141. [163]Al-Nawawi, Al-Majmu’, Jld VII…, hal. 334. [164]Ibid, hal. 344. [165]Muhammad Bin Syihab Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj, Jld. III, (Beirut : Dar Al-Fikr, 2004), hal. 132) [166]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. III…, hal. 309-310. [167]Al-Mahalli, Kanzu Al-Raghibin, Jld II…, hal. 40. [168]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. III…, hal. 309-310. [169]Ibid, hal. 311. [170]Al-Nawawi, Minhaj Al-Thalibin, Jld. II, Cet. I, (Kairo : Dar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, 1923), hal. 16. [171]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 153. [172]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. III…, hal. 235. [173]Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram…, hal. 122. [174]Al-Mawaridi, Al-Hawi Jld. III…, hal. 235. [175]Al-Nawawi, Al-Majmu’, Jld V…, hal. 453. [176]Ibid, hal. 454. [177]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. III…, hal. 235. [178]Ibid, hal. 452. [179]Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jld II…, hal. 240. [180]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 187. [181]Muslim Bin Al-Hajjaj, Al-Jami’ Al-Shahih, Jld. III, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d.), hal. 156. [182]Muhammad Bin Isa Al-Tirmizi, Sunan Al-Tirmizi, Jld. I, Cet. I, (Beirut : Dar Al-Kutub Almiyah, 2000), hal. 511. Lihat juga Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jld. II…, hal. 366. [183]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. III…, hal. 453. [184]Al-Nawawi, Al-Majmu’, Jld VI…, hal. 369. [185]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. III…, hal. 453. [186]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 10. [187]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. I…, hal. 65. [188]Ibid, hal. 66. [189]Ibid, Jld VII, hal. 357. [190]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 391. [191]Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Jld. V…, hal. 246. [192]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. VII …, hal. 364. [193]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. I…, hal. 391. [194]Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Jld. V…, hal. 246. [195]Al-Syafi’i, Al-Umm, jld. VIII…, hal. 223. [196]Al-Nawawi, Al-Majmu’, Jld XIV…, hal. 403. [197]Al-Syafi’i Al-Risalah…, hal. 545. [198]Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Jld. VII…, hal. 58. [199]Al-Mawaridi, Al-Hawi, Jld. X …, hal. 319. [200]Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Jld. VII…, hal. 58. [201]Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Jld. II …, hal. 103. [202]Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Jld. VII…, hal. 59. [203]Ibid. [204]Ahmad Nahrawi Abdussalam, Al-Imam Al-Syafi’i Fi Mazhabaih Al-Qadim Wa Al-Jadid, (Kairo : Dar Al-Kutub, 1994), hal. 462. [205]Fahd Abdullah Al-Habisyi, Al-Madkhal ila Mazhab Al-Imam Al-Syafi’i,(Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, n.d) hal. 54. [206]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 561. [207]Al-Saqaf, Fawaid Al-Makiyah…, hal. 55. [208]Abdurrahman Al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, cet. I (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), hal. 379. [209]Abu Hatim Al-Razi, Adab Al-Syafi’i wa Manaqibuhu, cet. I, (Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 46. [210]Al-Nawawi, Al-Majmu’, jld. I…, hal. 66. [211]Ibid. hal. 67. [212]Abu Zahrah, Imam Syafi’i…, hal. 563. [213]Abdurrahman bin Muhammad A’lawi, Bughyah Al-Mustarsyidin, (Beirut : Dar Al-fikr, 1995), hal. 6. [214]Al-Nawawi, Al-Majmu’, jld. I…, hal. 63. [215]Ibid. [216]Ibid. hal. 68. [217]Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram…, hal. 31. [218]Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj ‘Ala Syarh Al-Minhaj, Jld. I, (Beirut : Dar Al-Fikr, n.d.), hal. 423. [219]Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Jld. I…, hal. 368. [220]Al-Mahalli, Kanzu Al-Raghibin, Jld I…, hal. 113. [221]Al-Nawawi, Al-Majmu’, jld. I…, hal. 66. [222]Abdurrahman A’lawi, Bughyah…, hal. 6-7.

3 komentar:

  1. subhanallah ...bgt luas ilmu Allah swt. ilmu yg kami ketahui amat sedikit... yg sudah di permudah saja sama ulama kami masih belum paham...bgtu bodoh nys kami ya Allah...smg rahmad dan sejahtra selalu tercurah kan kpd nabi kita Muhammad saw. ulama pewaris nabi.

    BalasHapus